Pages

Friday 27 June 2014

Idul Fitri Bersama di Republik Mimpi



Menyadur tulisan dari pak Ustadz DR. Muntaha Zaim

On Saturday, October 6, 2007 9:47 AM, Muntaha Zaim <muntaha_26@yahoo.com> wrote:


‘Idul Fitri Bersama di Republik Mimpi"
 
            Di hampir semua negara-negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam masyarakatnya dapat menikmati kebahagiaan berhari raya bersama, bersatu padu dalam kebahagiaan; namun di Indonesia masyarakat untuk saat ini hanya dapat bermimpi untuk dapat merasakan indahnya kebersamaan dalam kebahagiaan.
 
Apa akar permasalahannya
            Hari raya 'Idul Fitri bukan seperti shalat, wudhu dan ibadah sejenisnya yang dapat dilakukan dengan leluasa oleh individu, 'Idul Fitri adalah ibadah sosial, ibadah yang melibatkan semua elemen umat Islam, tak pandang bulu dari ormas dan jama’ah manapun mereka; Muhammadiyah, NU, Perti, Persis, Masyumi, al-Irsyad, Syi’ah, Salafi, Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh; bahkan dari, Islam Jama’ah, Islam Liberal hingga Islam abangan, juga masih banyak lagi parpol-parpol yang berbasis Islam, semuanya ada di Indonesia dan semuanya merasa perlu dan merasa memiliki ‘Idul Fitri; yang mana berjuta-juta umat Islam Indonesia banyak yang beraviliasi di dalam ormas-ormas tersebut, atau “dipaksa” oleh opini masyarakat untuk dimasukkan dalam organisasi dan jama’ah-jama’ah tersebut; dan perlu dicatat bahwa semua berdiri di atas nama Islam dan tentu semua menginginkan untuk menuju surga.
            Nah, pada saat umat Islam Indonesia ingin mengadakan "hajatan akbar" berupa perayaan 'Idul Fitri; ternyata ada di antara pemimpin-pemimpin dan ilmuan-ilmuan/ulama’ dari kelompok-kelompok itu yang merasa paling punya wewenang dan ingin didengar suaranya untuk menentukan hari “H”nya ‘Idul Fitri; tentu dengan metode masing-masing, ada yang memakai hisab, ada pula yang menggunakan metode ru'yat, baik ru’yat lokal maupun yang lebih maju lagi ru’yat global. Yang pasti hilal (bulan sabit) tidak akan terpengaruh sedikitpun dengan segala macam metode observasi tersebut, sebab bulan sabit itu satu dan dia mempersilahkan kepada umat Islam untuk meneliti dan mengobservasi dirinya, segala metodologi itu tidak penting bagi sang hilal. Toh meskipun pada tahun 2001 Muhammadiyah dan Persis yang sama-sama menggunakan teori hisab hasilnya berbeda dalam menentukan 'idul Fitri, dan juga pada tahun 2006 Lajnah Falakiyah NU yang menggunakan ru'yat ternyata saling menyalahkan dan akhirnya "pecah" menjadi dua golongan; PBNU dan PWNU Jatim, seandainya hilal dapat mengungkapkan kesedihannya tentu dia sangat murka melihat dirinya sebagai tanda-tanda kebesaran Allah menjadi penyebab umat Islam Indonesia berselisih dan berpecah belah. Di samping itu pihak-pihak yang menentukan ‘Idul Fitri juga sudah bersikukuh bahwa pendapatnya adalah benar dan harus dipertahankan, kalau perlu sampai nafas terakhir; sebab ini masalah tanggung jawab sebagai pemimpin di hadapan “umatnya” dan di hadapan Allah kelak, ini adalah urusan surga dan neraka!
            Karena besar dan seriusnya masalah ini sehingga mengusik ilmuan dan ulama Indonesia untuk membahas tentang “bulan”, dan bisajadi negara-negara anggota OKI yang paling “maju” dan paling giat dan sibuk mengadakan penelitian dan observasi tentang planet bulan adalah Republik Indonesia, bahkan seminar-seminar dan berbagai macam simposium sudah diadakan oleh ormas-ormas Islam, peserta seminar juga bukan hanya dari sarjana-sarjana astronomi tapi sarjana syari’ah juga terlibat aktif; tapi perlu dicatat bahwa tujuan pertemuan dan penelitian tersebut bukan untuk dapat sampai ke permukaan bulan tersebut, namun hanya sekedar untuk mencari definisi tentang kriteria “wujudul hilal”, “derajat visibilitas ar-ru’yah”, “ijtima’ (konjungsi) qablal ghurub” dan segala macam istilah lainnya yang berkaitan dengan ilmu falak/astronomi, mungkin karena rumitnya ilmu yang satu ini, ilmuan dan ulama Indonesia yang sudah selama bertahun-tahun memeras keringat dalam membahasnya dan berijtihad (menggali hukum dengan sungguh-sungguh sampai ke titik maksimal) namun masalah “definisi” dan “kriteria” hilal belum juga dapat disepakati dan belum ditemukan. Mungkin untukIndonesia masih perlu berpuluh-puluh tahun lagi untuk mengetahui “definisi hilal”!, Kalau untuk masalah seperti ilmuan, cendekiawan dan ulama IslamIndonesia untuk menelitinya memakan waktu bertahun-tahun, lantas kapan akan ada orang Islam Indonesia yang akan mengibarkan sang saka merah putih di planet tersebut?
            Ini semua mengindikasikan bahwa apapun metodologinya, dan sekuat apapun dalil syar’i yang dijadikan hujjah, metodologi apapun yang disepakati baik ru'yat saja maupun hisab, jika semua pihak belum sepakat tentang “kriteria” hilal, maka di negeri yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia ini perbedaan dalam menentukan 'Idul Fitri peluang berbeda masih sangat terbuka lebar dan menganga.
 
Mengapa melupakan tujuan 'Idul Fitri
            Tujuan 'Idul Fitri adalah untuk merayakan kebahagiaan, kebersamaan, dan saling menyatakan kebesaran rahmat dan nikmat Allah kepada antar sesama umat Islam khususnya dan juga menunjukkan kepada alam semesta bahwa umat Islam itu meskipun sekarang ini tercabik-cabik, tapi masih ada harapan dan motivasi untuk meraih kegemilangan di masa mendatang.
            'Idul Fitri adalah kembali kepada fitrah; di antara fitrah umat Islam, meskipun dibungkus dengan berbagai macam ormas, sebenarnya fitrahnya masih tetap ingin bersatu padu dalam 'Idul Fitri; melupakan semua bungkusnya, bahkan fitrah ingin saling memaafkan dan saling melupakan kesalahan masa lalu dengan saling bersilaturrahim; inilah fitrah masyarakat Indonesia. Fitrah yang harus dicarikan wadah untuk mempersatukannya; dan seharusnya peluang itu ada di depan mata; bersama-sama berhari raya ‘Idul Fitri.
Syahdan di negeri ini; satu rumah, bahkan penulis mengatahui ada sepasang suami istri yang sama-sama taat beragama; ternyata pilihan 'Idul Fitrinya berbeda, dan menjadi gunjingan banyak orang di hari yang seharusnya tidak perlu ada desas-desus tidak sehat tersebut, adakah ini yang diharapkan Islam?, ketika dimalam hari juga mungkin ada yang mendengar satu mesjid menyerukan dengan suara lantang agar masyarakat bangun bersahur, tapi di masjid yang kebetulan tempatnya “berseberangan jalan" ada sahutan dengan mengumandangkan laungan menggema takbir 'Idul Fitri; yang membawa pesan sangat jelas, jangan kalian bersahur, kalian tidak benar, yang benar adalah kami yang sedang bertakbir, dan begitulah sebaliknya. Andaikata baginda Rasulullah SAW masih ada; mungkinkah beliau berbahagia dengan kondisi umatnya seperti saat ini?. Namun begitu semua yang saling berselisih tersebut beranggapan bahwa dialah yang paling sesuai dengan sunnah Nabi SAW.
            Dalam 'Idul Fitri disunnahkah untuk mengucapkan salam dan do'a "Taqqbbalallahu minna wa minkum", sebagai ungkapan kemenangan, kemenagan umat Islam, kemenangan apakah yang akan diraih dari perpecahan umat, ‘Idul Fitri yang seharusnya menjadi momen persatuan untuk menuju kemengan, namun di Indonesia menjadi peletakan batu pertama untuk saling terus berpecah belah. Bila 'Idul Fitri berbeda dan dalam satu lingkungan sosial; dapat dipastikan bahwa ketidaknyamanan akan terjadi; meskipun ada senyum, senyuman keterpaksaan itu hanya sampai di tenggorokan, belum sampai masuk ke hati. Toleransi yang dipaksakan oleh pengambil kebijakan dengan alasan "masyarakat kita sudah dewasa dalam menyikapi perbedaan", "ini masalah khilafiyah, perbedaan dalam agama itu rahmat". Benarkah, perbedaan 'Idul Fitri dalam satu kampong bahkan di dalam satu rumah merupakan rahmat yang dibawa Islam?. Mungkin bibir dapat mengatakan rahmat; namun hati nurani yang masih dalam fitrah akan menolaknya, meskipun sudah berulang kali untuk dihibur dengan berbagai macam alasan dan dalil.
            Mengapa hanya dalil hisab dan ru’yah yang selalu ditonjolkan; dan masyarakat juga sudah yakin bahwa tokoh-tokoh ormas pemegang kebijakan sudah “final dan puas” dengan dalil masing-masing, bukankah Islam itu luas; masih ada dalil-dalil lain, seperti maqashid as-syari’ah, yang jelas berpihak kepada maslahat (kebaikan) dan maslahat dalam ‘Idul Fitri hanya dapat ditemui jika dilakukan secara bersama-sama. Kebersamaan 'Idul Fitri. Itulah yang jelas kita dapatkan dari wejangan tuntunan umat Islam, kanjeng Nabi SAW, "Hari berpuasa adalah hari kamu semua berpuasa hari raya adalah di mana kamu semua berhari raya". Sebagaimana yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi, ad-Daruquthni, dan al-Bayhaqi.
            Ternyata pemegang kebijakan terjebak dengan teknis observasi dan “kriteria” yang sampai saat ini belum ditemukan titik temunya, dan sama sekali kurang memperhatikan dan menitik beratkan titik temu kebersamaan umat Islam, yang tentu saja ini adalah merupakan salah satu tujuan utama disyari’atkannya ‘Idul Fitri.
 
Diperlukan kedewasaan dan hati yang lapang
            Bagi warga Indonesia yang merasakan hidup di luar negeri pada saat 'idul Fitri mungkin merasa sedih karena jauh dari keluarga, famili dan tentu ini adalah momen yang sangat bersejarah dan penuh arti dalam hidup seseorang; bahkan juga di Indonesia sendiri; fenomena mudik menunjukkan antusias masyarakat untuk "bersama" berbahagia bersama keluarga; namun kasihan umat Islam Indonesia, kebersamaan itu akhirnya kandas di tangan qarar, fatwa, tarjih dan istilah-istilah lain yang dipakai oleh tokoh-tokoh ormas Islam; Namun jika melihat kenyataan bahwa di kampung halaman hari raya berbeda-beda sampai selama 3 hari, rasanya rasa kangen dan kerinduan jadi sirna, atau bahkan menjadi phobi dengan realita umat Islam Indonesia, dan bagi yang berada di luar negeri menjadi iri dengan negara Islam lain dan putus asa melihat problematika bangsa Indonesia dengan muslim mayoritasnya.
            Di semua negara Islam, perbedaan ‘idul Fitri itu hampir tidak terjadi atau sangat jarang terjadi; di semua negara Teluk, di semua Negara Timur Tengah, di Afrika Utara, di Asia Tengah, dan di negara-negara ASEAN (tentu saja kecuali Republik Indonesia) semua rakyatnya dapat merasakan kebersamaan dan kebahagiaan 'Idul Fitri, sebab pemimpin-pemimpin dan ilmuan-ilmuan/ulama' di negeri-negeri tersebut jauh lebih melihat bahwa ‘Idul Fitri milik umat Islam seluruhnya, bukan milik kelompok dan golongan. Indonesia dengan berjuta-juta penduduk memang dapat dibanggakan dengan banyaknya ulama’ dan ilmuan-ilmuannya; baik yang ahli dalam bidang ru’yah maupun hisab/astronomi tidak terhitung banyaknya. Tapi hal serupa juga kita dapatkan dengan melimpah ruah di Mesir, di Timur Tengah, di Afrika Utara, di Asia Tengah dan juga di semua Negara ASEAN; negara-negara tersebut juga punya ulama-ulama besarnya yang bahkan mendunia yang negara kita saat ini belum mampu melahirkannya, dan tentu negara-negara tersebut juga punya pakar-pakar falak dan ahli ru’yah yang mungkin lebih senior dari Indonesia, tapi di manakah suara dan pendapat ulama'-ulama' negeri-negeri tersebut ketika menentukan 'Idul Fitri? Nyaris tak terdengar, dan bahkan tidak muncul. Dikarenakan mereka menyadari sepenuhnya bahwa urusan "mengumumkan" jatuhnya hari raya 'Idul Fitri bukan ditangan individu atau kelompok; tapi di tangan ulil amri, para ulama' dan ilmuan tugasnya adalah memberikan masukan yang akurat dan data valid kepada ulil amri tentang observasi hilal; itulah tanggung jawab mereka; dan bila terjadi kesimpangsiuran atau bila adu dalil tidak terelakkan di antara kubu-kubu yang ada, maka surat An-Nisa': 59 difungsikan dan ditaati: "Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasulullah dan kepada ulil amri dari kalian". Kubu-kubu yang berselisih tentunya sudah "puas" dan nyaman dengan dalil-dalil yang dipegang; kalau sudah begitu maka ulil amri harus dimainkan perannya atau memainkan perannya untuk menghindarkan perselisihan; itu semuaa harus dilakukan sebab ritual 'Idul Fitri bukan ritual individu dan kelompok, tapi ritual yang melibatkan umat Islam. Dan dalam kaidah fatwa diterangkan bahwa fatwa harus meilhat i'tibar al-maalaat (melihat efek dan akibat yang akan ditimbulkan), dan perbedaan ‘Idul Fitri jelas berakibat tidak sehat di masyarakat. Kemudian para ulama juga sudah sepakat bahwa agama ini datang untuk mendatangkan maslahat (kebaikan) bagi semua elemen masyarakat; dan semua hukum Islam berpihak kepada maslahat dan menghindari madharat (kerusakan), dan jelas bahwa beda 'Idul Fitri akan mencetuskan banyak problem (mafsadah/madharrat); baik ritual maupun sosial. Maka semua keputusan dari pemegang kebijakan dalam masalah 'Idul Fitri seyogyanya melihat realita di masyarakat sebagai petimbangan besar sebelum mencetuskan keputusan untuk menentukan jatuhnya 'Idul Fitri.
Langklah strategis  yang harus ditempuh
            Untuk keluar dari khilaf dan polemik tahunan ini kiranya harus ada langkah untuk menyelesaikannya; mungkin langkah pertama ormas-ormas harus dengan "legowo" menyerahkan kebijakan mengumumkan 'Idul Fitri kepada ulil amri; mengingat 'Idul Fitri milik bersama. Tentu ulil amri tersebut harus bersikap netral, fair dan mengakomodasi semua tokoh, ulama, dan ilmuan dari semua kubu; kemudian hasil dari ijtihad jama'i (kolektif) tersebut harus disepakati dan hanya boleh diumumkan oleh ulil amri. Yang menjadi usulan penting dalam forum pertemuan antar ormas dan jama’ah-jama’ah tersebut ada dua; pertama, jangan sampai pertemuan itu hanya disebabkan oleh undangan Menteri Agama, padahal ketika dating ke pertemuan lembaga yang diundang sudah menetapkan harga mati yang tidak mungkin berubah, dan yang kedua jangan sampai semua yang terlibat tersebut terjebak dalam adu dalil dalam masalah siapa sebenarnya ulil amri di Indonesia?
Kalau pedebatan kedua ini terjadi, apa artinya masyarakat merayakan kemerdekaan RI yang ke 62 bulan Agustus lalu. Menurut hemat penulis, yang layak menjadi ulil amri di sini adalah Departemen Agama, atau barangkali ada kelompok-kelompok yang merasa lebih berhak menjadi ulil amri di negeri ini?. Bisa saja terjadi.
Sebenarnya mencari titik temu persamaan itu tidak sesulit yang dibayangkan, dengan syarat seperti yang dikatakan Menteri Agama, "kalau mau". Benar, kalau mau, Allah SWT memberikan tip bagi pasangan suami istri yang sedang berselisih untuk bersatu kembali dengan ungkapan: "Dan jika kalian khawatir terjadi peceraian di antara mereka (suami istri) maka utuslah hakam (hakim penengah) dari keluarga suami, dan juga dari keluarga istri. Kalau mereka berdua menginginkan islah (berbaik-baikan) kembali, maka Allah akan memberikan taufiq di antara mereka". (An-Nisa': 35), tapi kalau memang kubu-kubu yang berselisih sudah enggan untuk bersatu-padu dari manakah ada jalan pertemuan meskipun sudah ada penengah?.  
Namun, kalau tidak segera diambil jalan keluar mengenai sikap-sikap pengambil kebijakan yang tetap seperti sekarang ini dan “kriteria” hilal belum disepakati, maka sampai ke generasi anak cucu kita ‘Idul Fitri bersama di Indonesia sulit menjadi kenyataan. Mudah-mudahan, 'Idul Frtri bersama akan dapat kita rasakan nantinya di alam nyata Republik Indonesia, meskipun umat Islam Indonesia dari semenjak tahun 1990-an terpaksa harus berlebaran bersama di Republik Mimpi.
Taqabbalallhu minna wa minkum, mohon maaf lahir batin.
Walahu a'lam.  
 
Yang ingin melihat umat Islam Indonesia maju,
 
Muntaha Artalim Zaim
Kuala Lumpur Pinggiran, Sungai Cincin1 Oktober 2007, 19 Ramadhan 1428.

Maklumat 1 Syawal 1428H 


Disadur dari email pak Ustadz Muntaha tahun 2007 - 

Assalamu'alaikum...,

Memang masalah "ru'yat" dan "hisab" dan juga "kriteria" tentang standarisasi yang dianggab mu'tabar masih belum bisa disepakati oleh tokoh-tokoh ormas Islam di Indonesia. Sebagai contoh tahun 1981 antara Persis dan Muhammadiyah yang sama-sama menggunakan "hisab" ternyata dalam menentukan hari raya juga berbeda. PBNU yang  berpegang dengan ru'yat ternyata juga berbeda pada tahun kemarin, PWNU Jatim merayakan lebih dulu satu hari dari keputusan PBNU.
Dan kalau dicari-cari dalil-dalil baik dari nash-nash Al-Qur'an dan Hadits-hadits dan juga dalil 'aqli (science) antara ru'yah dan hisab sama-sama kuat. Dan sebenarnya tidak akan ada perselisihan antara nash dan sciences dalam masalah hilal ini sebab obyeknya jelas dan satu.
Wallahu a'lam, dalam mengambil jalan keluar ini mungkin sekali lagi harus ditinjau dari maqashid 'idul Fitri setelah memadukan (jam') semua dalil, sebab kedua-dua kubu sama-sama berpegang dengan dalil.
Untuk meninjau maqashid syari'ah (tujuan-tujuan disyaria'tkan suatu hukum) dalam 'idul fitri, ada beberapa pandangan lain:
1. Puasa adalah ibadah bersama-sama, dan idul Fitri adalah ibadah perayaan kebersamaan, Rasulullah SAW bersabda: "As Shoumu yauma Tashumuna wal Fitru yauma tuftirun" (Hari berpuasa adalah pada hari di mana kamu semua berpuasa, dan hari (idul) fitri adalah dimana kamu semua merayakan 'idul fitri". Hadits ini sangat jelas mengedepankan persatuan umat, yang bisa jadi kurang begitu banyak mendasari pihak-pihak yang berwenang dalam menentukan hari Raya atau awal puasa.
Seandainya hadits ini dijadikan sebagai dasar tentu akan sangat mudah menyatukan awal dan akhir puasa Ramadhan.
2. Tujuan 'iedul Fitri adalah perayaan kegembiraan umat Islam , dan seringkali orang "menghibur diri" dengan menyatakan bahwa orang Indonesia sudah biasa berbeda, atau perbedaan dalam amaliah beragama itu adalah rahmat. Sepertinya jika ada mertua dan menantu yang berbeda merayakan 'idul fitri dalam satu rumah, yang satu berpuasa wajib dan satu lagi mewajibkan dirinya berbuka, tentu sama sekali bukan ini yang diharapkan dalam Islam yang penuh rahmat. Begitu juga antara suami istri yang berbeda pilihan, pasti akan banyak mengalami hambatan sosial. Sebab jauh dari tujuan asal disyari'atkannya 'idul fitri, juga termasuk tindakan yang sulit untuk dinalarkan. Dan menimbulkan implikasi dan dampak sosial yang kurang sehat.
3. Tidak semua perbedaan itu rahmat, dalam ilmu fikih hampir setiap permasalahan mulai dari thaharah sampai bab jihad sarat dengan perbedaan pendapat; tapi tidak semua perbedaan pendapat itu rahmat. Kita jadi ingin sekali mendapatkan tokoh sekaliber Ibnu Mas'ud RA, yang pada waktu Utsman bin Affan menjadi khalifah, ketika Utsman naik haji dan mabit di Mina, Utsman melaksanakan shalat Zhuhur dan Ashar sebanyak masing-masing empat rakaat. Oleh Ibnu Mas'ud ketika mendengar berita kontroversial tersbut Utsman R.A. dianggap telah meninggalkan sunnah Rasulullah SAW, sebab Rasulullah hanya shalat 2 raka'at 2 raka'at. Meskipun beliau secara prinsip tidak setuju dengan Utsman yang menyempurnakan empat rakaat, tapi ketika Ibnu Mas'ud shalat berjamaah di Mina di belakang Utsman R.A., ia shalat seperti shalatnya Utsman R.A. Ketika orang-orang mempertanyakan hal itu, Ibnu Mas'ud berkata, "Al-Khilafu Syarun (Berselisih itu  jelek). Hadist Riwayat Abu Dawud.
Benarkah Utsman R.A meninggalkan sunnah dalam masalah ini?, sebelum tergesa-gesa mengambil keputusan mungkin posisi usman dihadapan Nabi SAW akan mencairkan masalah, adakah Utsman yang hidup lama bersama Nabi SAW tidak mengetahui sunnah? tentu tidak, beliaulah orang yang sangat faham dengan sunnah. Untuk melihat lagi mengapa Utsman menyempurnakan empat rakaat, perlu waktu tersendiri yang tentu saja saat ini bukan pada topik pembahasan.
Yang menjadi hikmah adalah Ibnu Mas'ud menganggap bahwa diantara perbedaan itu ada yang jelek, mungkin kalau beliau saat ini ada juga akan berpendapat bahwa beda hari raya di satu kampung bahkan satu rumah adalah termasuk yang jelek tersebut.
4. Amrul hakim yarfa'ul khilaf (Keputusan ulil Amri dapat menghilangkan perbedaan pendapat). Mungkin di antara masyarakat yang dalam mengartikan demokrasi terlalu jauh adalah masyarakat kita; untuk 'idul Fitri pada tahun kemarin di Indonesia ada 4 hari berbeda, dan yang terakhir pada hari Rabu -kalau tidak salah- 1 syawal dirayakan oleh sebuah kelompok pengajian.
Kalau di negeri Islam lainnya, tidak terhitung ilmuan dan ulama' yang punya pendapat berbeda-beda dan punya kapabilitas yang tidak diragukan, baik dari kalangan ahli ru'yah ataupun hisab, tapi semua hanya berwacana dan semua hanya mengusulkan dan memberikan yang terbaik. Begitulah di Mesir, Saudi, negara-negara Timur Tengah, dan juga Malaysia. Dan pada giliran mengumumkan Idul Fitri  ulama'-ulama' dan ilmuan-ilmuan hanya berani menunggu keputusan "Hakim", yang terkadang kata ini di masyarakat kita seringkai hanya muncul ketika orang tidak punya wali dan mau menikah, sehingga walinya wali hakim. Itu semua disebabkan adanya kaidah besar dalam ilmu Fikih bahwa "Amrul Hakim Yarfa'ul Khilaf". Disinilah mungkin pentingnya surat an Nisa': 59, tentang urgensi ta'at kepada Allah, Rasulullah dan Ulil Amri.
Sebagai contoh kongkrit adalah catatan sipil pernikahan yang menjadikan adanya wali bagi calon pengantin wanita adalah syarat sahnya pernikahan, di semua KUA di Indonesia menyeragamkan pelaksanaan ini dan tidak memberikan toleransi kepada yang berpendapat lain, meskipun ada dalam khazanan fikih Islam yang legal. Dan alhamdulillah semua masyarakat menikmati keseragaman ini dan merasakan rahmatnya.
5. Yang menentukan 'idul 'Idul Fitri dan Shalat 'Ied bukan individu. Semenjak zaman Rasulullah SAW wacana individu dalam menganalisa dan mencari hilal selalu hasil akhirnya disampaikan dan dikembalikan kepada yang berwenang, Rasulullah SAW, dan sepeninggal beliau adalah khulafa'ul Rasyidin dan begitulah selanjutnya. Di Indinesia ada berpuluh-puluh ormas Islam, kalau seandainya semuanya membuat tim ru'yah dah hisab mungkin akan semakin menambah runyam.
Mungkin DEPAG adalah salah satunya wadah yang dapat mengakomodasi semua ormas-ormas tersebut dengan pakar-pakarnya masing-masing; yang pertemuannya tidak hanya sekedar ketika menjelang hari raya tapi terus intensif memantau setiap awal bulan Hijirah untuk menemukan kriteria dan akhirnya keputusan diambil dari sidang akbar dengan niat yang tulus ikhlas ingin mencari yang benar.  
6. Hati kecil masyarakat Islam menginginkan hari raya yang satu. Kalau diminta memilih antara dua hal, berhari raya berbeda atau beda hari raya dalam satu negeri, kemungkinan besar akan banyak yang memilih dan berharap agar hari raya jatuh pada hari yang sama.
Akhirnya, mudah-mudahan ke depan kriteria untuk menyatukan dapat ditemukan oleh tokoh-tokoh dan yang ahli dalam bidangnya dan menjadi hari raya yang satu, dan itu insya Allah dapat dicapai jiga ada "keinginan untuk islah dan bersatu".
Allah SWT mengingatkan tentang kemungkinan bersatunya kembali pasangan suami istri yang sudah berselisih, "in yuridaa al-Ishlaha yawaffiqillahu baynahuma" (Kalau mereka berdua (suami istri) menginginkan untuk islah (berbaik-baikan lagi), maka Allah akan memberikan taufiq (jalan keluar dan langkah tepat) di antara mereka berdua, tapi kuncinya jika memang menginginkan. Tapi jika memang pasangan tersebut tidak ingin bersatu dari manakah akan ada jalan. Mungkin keinginan inilah yang harus dikedepankan untuk mendapatkan taufiq dalam penentuan berhari raya.
Wallahu a'lam.
Mohon maaf bagi yang tidak berkenan
muntaha