Pages

Thursday 7 August 2014

Jangan Memberhalakan ”Multikulturalisme”!


Oleh : DR.Adian Husaini

Monday, January 07, 2008

Di era globalisasi dan westernisasi saat ini, ”multikulturalisme” tampaknya sudah dianggap sebagai paham ideal yang harus diterima masyarakat. Seperti paham-paham modern lain, demokrasi, liberalisme, pluralisme, kesetaraan gender, dan sebagainya, multikulturalisme juga diwajibkan – oleh penguasa dunia, entah siapa makhluknya – untuk dipeluk oleh semua orang. Tidak peduli, apakah dia pejabat, dosen, artis, atau dai. Semua harus multikulturalis, menganut paham multikulturalisme.

Maka, sudah beberapa tahun belakangan ini, kita mendengar banyak sekali pimpinan pesantren, dosen, mahasiswa, dan berbagai kalangan masyarakat yang ditraining paham multikulturalisme. Menurut mereka, dengan memeluk paham ini, kita bisa selamat dan membawa kemaslahatan. Tanpa banyak terekspose oleh media massa, pada 11 Desember 2007 lalu, Badan Litbang Departemen Agama mengumumkan hasil penelitiannya tentang “Pemahaman Nilai-nilai Multikultural Para Da’i”.

 Hasil penelitian ini sangat penting untuk kita cermati, karena menyangkut masalah pemahaman keagamaan para dai, baik fakta maupun Sebelum kita melihat hasil penelitian Depag tersebut, kita simak dulu apa definisi multikulturalisme yang dijadikan acuan oleh Depag. Pada bagian Latar Belakang, dijelaskan pernyataan Ketua Balitbang Depag, Atho Mudzhar, bahwa selain dapat menjadi faktor integrasi, agama juga dapat menjadi faktor dis-integrasi.

Agama sebagai faktor disintegrasi bangsa Indonesia, dapat dilihat pada terjadinya konflik keagamaan – bahkan sampai saat ini – di beberapa daerah di Indonesia. “Konflik ini salah satunya disebabkan oleh adanya pemahaman keberagamaan masyarakat yang masih eksklusif. Pemahaman ini dapat membentuk pribadi yang antipati terhadap pemeluk agama lain. Pribadi yang selalu merasa hanya agama dan alirannya saja yang paling benar sedangkan agama dan aliran lainnya adalah salah dan dianggap sesat,” demikian kutipan paparan pendahuluan hasil penelitian tersebut.

Sampai pada kalimat tersebut, kita semua -- juga para pejabat Litbang Depag -- patut merenung. Benarkah seperti itu? Bahwa konflik agama terjadi karena pemeluk agama meyakini kebenaran agamanya sendiri? Kita menjawab, bahwa asumsi itu sangat tidak benar. Kaum beragama saat ini harusnya berpikir ulang, bahwa mereka sedang dalam posisi dijadikan kambing hitam atas berbagai konflik yang terjadi, seolah-olah konflik-konflik itu terjadi karena urusan agama. Padahal, berapa persen yang sebenarnya masalah agama? Perlu kita catat, bahwa korban kekerasan terbesar di dunia ini adalah masyarakat sipil yang diperangi atas nama kebebasan dan demokrasi. Kita tidak menafikan ada konflik bermotif agama atau bernuansa agama. Tapi, marilah kita teliti dengan cermat, apakah konflik-konflik itu terjadi karena umat beragama memiliki pemahaman eksklusif bahwa hanya agamanya sendiri yang benar?

Dalam berbagai kesempatan, masalah truth claim (klaim kebenaran) ini sering dijadikan sebagai kambing hitam terjadinya konflik antar agama, sehingga pemeluk agama dianjurkan melepaskan kliam kebenaran atas agamanya masing-masing. Tentu saja, ini sangat mustahil, kecuali bagi orang-orang yang memang sudah bosan beragama. Simaklah sebuah buku menarik berjudul ”Hindu Agama Terbesar di Dunia” terbitan Media Hindu (2006). Judul buku itu merupakan terjemah dari artikel berjudul ”Hinduism, the Greatest Religion in the World,” karya Satguru Sivaya Subramuniyaswami di majalah Hinduism Today edisi Februari/Maret/April 2000. Tulisan itu merupakan respon terhadap seruan Paus John Paul II kepada para Uskup dan orang-orang Katolik untuk mengkoversi orang-orang Hindu di India, dalam pidatonya di New Delhi tanggal 25 Desember 1999, tepat saat umat Hindu merayakan hari suci mereka, Depavali.

Tulisan ini berusaha menanamkan keyakinan dan kebanggaan kepada para pemeluk agama Hindu terhadap agama mereka, dengan menggambarkan bahwa: ”Seorang disebut manusia besar bukan karena tubuhnya gede, tetapi karena karakternya, karena sumbangannya kepada masyarakatnya. Secara kuantitas pemeluk Hindu bila digabung dengan ”anak-anaknya” berjumlah 1,5 milyar, lebih besar dari Islam. Dan ingat, Hindu bukanlah agama missi yang agresif seperti Kristen atau Islam. Tetapi kebesaran Hindu terletak pada karakternya, sumbangannya pada peradaban. Dan dalam membangun budaya dan peradaban, Hindu tidak pernah menghancurkan budaya dan peradaban yang sudah ada. Sebaliknya Hindu melindungi, memeliara, dan bahkan mengembangkan mereka.” (bagian pengantar oleh Ngakan Made Madrasuta).

Kita tentu menghormati keyakinan kaum Hindu semacam itu dan tidak perlu menyatakan bahwa keyakinan semacam itu adalah sumber konflik. Bagi orang yang serius mau beragama, tentu dia memeluk agama tertentu karena meyakini ada hal-hal yang unik dalam agamanya. Dia yakin agamanya benar. Dia yakin agamanya akan mengantarkannya ke jalan keselamatan. Untuk apa dia beragama kalau tidak yakin? Karena itulah, kaum Hindu juga tidak rela umat mereka dijadikan sasaran misi Kristen. Tentu sangat aneh, jika ada orang masih mengaku Muslim, tetapi lebih percaya kepada Bibel ketimbang al-Quran. Juga aneh kalau orang masih tetap mengaku Kristen tetapi lebih meyakini al-Quran ketimbang Bibel.

”Multikulturalisme sejati” seharusnya tidak menggerus keyakinan eksklusif masing-masing agama. Justru menghormati adanya keyakinan yang beragam itulah makna sejati dari mengakui keberagaman, bukan menggerus keyakinan masing-masing agama dan menggantinya dengan satu berhal baru bernama ”multikulturalisme”. Mengapa kita sebut dengan ”berhala”, sebab paham ini sepertinya diterima dan ditelan begitu saja tanpa sikap kritis. Kaum muslim dijejali dengan paham-paham semacam ini, yang tujuannya sudah jelas – seperti ditulis dalam laporan penelitian Depag ini – yaitu menggerus keyakinan beragama kaum Muslim.

Pakar Pluralisme Agama, Dr. Anis Malik Thoha, berulang kali menyebutkan, bahwa salah satu watak jahat paham Pluralisme Agama adalah sikapnya yang otoriter yang mau membuang semua keyakinan dan menggantikannya dengan satu ”Teologi Universal”. Pernyataan Dr. Anis itu sering terbukti di lapangan. Kita sering melihat, bagaimana orang-orang yang mengaku pluralis marah-marah dan memaki-maki MUI karena mengeluarkan fatwa bahwa menghadiri Perayaan Natal Bersama adalah haram. Jika dia pluralis atau multikulturalis, maka seharusnya dia menghormati pendapat dan keyakinan MUI, bukan memaksakan pendapatnya sendiri yang benar. Kita makin heran melihat, bagaimana kadangkala mereka mengeluarkan sumpah serapahnya, hanya karena kita tidak mau mengikuti paham-paham sekular dan liberal Barat.

Jika paham multikulturalisme semacam ini yang dijadikan acuan untuk dipeluk umat beragama di Indonesia, maka alangkah kelirunya penelitian Litbang Departemen Agama tersebut. Dalam laporan penelitian setebal 24 halaman ini, kita juga mendapati sejumlah indikator yang aneh, yang dijadikan sebagai parameter untuk menilai kualitas pemahaman dan sikap ”multikulturalisme” para dai, apakah sangat baik, baik, cukup baik, kurang baik, dan sangat kurang baik.

Misalya, hasil penelitian menunjukkan, bahwa pemahaman para dai terhadap nilai-nilai multikulturalisme pada dimensi kesetaraan dinilai ”cukup baik”, karena para dai itu percaya bahwa ada agama lain yang merupakan agama samawi dan meyakini bahwa Yahudi dan Kristen sekarang ini adalah ahlul kitab.

Kita tidak mempersoalkan hasil penelitian ini. Tapi, mengapa indikator yang dipilih adalah hal-hal semacam itu? Bagi Muslim, maka tidak ada salahnya jika meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama samawi. Begitu juga soal pandangan tentang Ahlul Kitab. Banyak sekali pandangan ulama tentang masalah ini. Jadi, sangat naif untuk menilai seseorang dai itu berpaham multikulturalis atau tidak berdasarkan pemahamannya terhadap agama samawi dan Ahlul Kitab.

Pada bagian hasil penelitian tentang ”Perasaan Da’i terhadap Nilai-nilai Multikultural” ditemukan, bahwa tidak sampai seperempat dari jumlah dai yang menjadi responden dalam penelitian ini yang memiliki perasaan terhadap nilai-nilai multikultural yang cukup baik sampai baik. Para dai yang diteliti ternyata merasa kurang nyaman bertetangga dengan orang yang berbeda agama, tetapi cukup baik nilai mereka dalam soal kesenangan berteman dengan orang yang berbeda agama. Para dai itu rata-rata juga merasakan perlunya UU Penyiaran Agama untuk mengurangi konflik antar umat beragama. Mereka juga rata-rata tidak suka jika penganut agama lain menyebarkan agama kepada orang yang sudah beragama.

Pada bagian ”Kecenderungan Perilaku Da’i terhadap Nilai-nilai Multikultural” ditemukan hasil yang buruk dalam beberapa hal berikut: (1) dalam soal penerimaan terhadap perkawinan berbeda agama, (2) penerimaan terhadap orang yang berbeda agama untuk mengajar anak di sekolah, (3) penerimaan terhadap orang yang berbeda agama dalam melakukan kegiatan di daerah Muslim, dan (4) penerimaan terhadap orang yang berbeda agama untuk membangun rumah ibadah di daerah Muslim.

Diantara kesimpulan dari hasil penelitian ini ialah: ”Ketidakpahaman dan ketidaknyamanan para dai terhadap nilai kesetaraan berpengaruh pada kecenderungan penerimaan dai terhadap nilai kesetaraan. Walaupun mereka cenderung akan berperilaku setara dengan cara menerima orang yang berbeda agama dengan cara berteman dan bertetangga, tetapi mereka tidak akan menerima perkawinan berbeda agama. Mereka cenderung akan berperilaku adil dalam hal memberikan kesempatan kepada orang yang berbeda agama mengeluarkan pendapat, tetapi cenderung tidak akan memberikan kesempatan kepada teman lain yang berbeda agama untuk bersama-sama melakukan ibadah sesuai dengan agama masing-masing. Bahkan, cenderung akan menolak orang yang berbeda agama mengajar anak mereka di sekolah, orang yang berbeda agama mengadakan kegiatan di daerah muslim dan orang yang berbeda agama membangun rumah ibadah di daerah muslim. Mereka juga cenderung tidak akan menghargai orang yang berbeda agama. Karena itu, mereka tidak akan mendoakan orang yang berbeda agama untuk mendapatkan kebaikan dan keselamatan serta tidak akan mengucapkan selamat kepada orang yang berbeda agama pada saat mendapat kegembiraan.”

Terhadap fenomena rendahnya pemahaman dan sikap multikulturalisme para dai, maka direkomendasikan (1) agar disosialisasikan kepada para dai tentang materi-materi hubungan antar agama yang didasarkan pada ayat-ayat al-Quran yang mengandung penekanan terhadap prinsip-prinsip kesetaraan, misalnya penggunaan istilah ahli kitab (ahl al-kitab) yang digunakan al-Quran antara lain sebagai ungkapan penghargaan yang tinggi karena mereka berpegang pada ketuhanan yang monoteistik, (2) Ketidaknyamanan para dai bertetangga dengan orang yang berbeda agama berkaitan erat dengan pemahaman mereka terhadap nilai kesetaraan. Untuk merubah ketidaksukaan betetangga dengan orang yang berbeda agama, para dai perlu diyakinkan bahwa Islam tidak melarang untuk bertetangga dengan orang yang berbeda agama. (3) Kecenderungan perilaku dai terhadap nilai-nilai multikultural yang tergolong kurang baik diperlukan adanya kegiatan-kegiatan yang bersifat interaksi antara pada dai dan orang-orang yang berbeda agama dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan.

Apa pun hasil penelitian ini, kita melihat, tampaknya saat ini, untuk menentukan seorang dai itu baik atau buruk sudah digunakan parameter baru, yakni parameter keimanan para dai terhadap paham ”Multikulturalisme”; dan bukan lagi menggunakan parameter: ”Syar’iy atau tidak Syar’iy”, ”Halal atau Haram”, ”Haq atau Bathil”, ”Bid’ah atau Sunnah”, ”Iman atau Syirik”. Jika demikian halnya, ini sama saja telah memberhalakan paham ”Multikulturalisme”.
Sebagai cendekiawan, seyogyanya para peneliti tidak terburu-buru menerima begitu saja paham-paham baru – seperti Multikulturalisme – tanpa menilainya dengan standar pandangan hidup Islam (Islamic worldview). Menyimak indikator-indikator yang digunakan untuk meneliti tingkat ”kemultikulturalan” seorang dai, tampak jelas, paham ini memang justru bermasalah. Jadi, semestinya Islam-lah yang menilai paham Multikulturalisme. Bukan sebaliknya, Islam dan kaum Muslim justru dinilai dengan kacamata Multikulturalisme. Wallahu a’lam.

 [Depok, 4 Januari 2008]


"Mengapa Kita Kalah?"



Mahathir Mohammad pernah mengatakan, umat Islam seharusnya bisa belajar dari sejarah Yahudi. Apa maksudnya? Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-253


Oleh: Adian Husaini
[Solo, 2 Januari 2009/www.hidayatullah.com]

Tahun 1969, menyusul kekalahan Arab dalam Perang Tahun 1967, Dr. Yusuf Qaradhawi menulis satu buku berjudul: ”Dars an-Nukbah ats-Tsaniyah: Limadza Inhazamnaa wa Kaifa Nantashir.” (Diterbitkan di Indonesia tahun 1988 oleh Pustaka Bandung dengan judul: ”Mengapa Kita Kalah di Palestina?).  Dalam bukunya, al-Qaradhawi menegaskan:

”Satu hal yang amat saya tegaskan di sini adalah keharusan kita untuk kembali kepada Islam. Islam yang benar. Islam yang menyeluruh yang mengembalikan diri kita – sebagaimana yang dulu pernah terjadi – menjadi sebaik-baik ummat yang pernah dihadirkan untuk seluruh ummat manusia.  Tanpa kembali kepada Islam, maka nasib yang akan kita alami, sungguh amat mengerikan, dan masa depan pun akan demikian gelap gulitanya.”

Mengapa kita kalah di Palestina? Itulah pertanyaan yang sudah menggayuti kaum Muslimin sejak puluhan tahun lalu. Mengapa umat Islam yang jumlahnya sekitar 1,4 milyar jiwa tidak berdaya menghadapi kekejaman dan kebiadaban Zionis-Yahudi yang jumlahnya hanya beberapa juta saja. Perlu kita renungkan, bahwa jumlah kaum Yahudi di seluruh dunia hanyalah sekitar 15 juta jiwa.

Dalam Atlas of The World's Religions,  disebutkan jumlah pemeluk agama Yahudi  15.050.000. Pemeluk Islam adalah 1.179.326.000, dan pemeluk Kristen 1.965.993.000. (Ninian Smart, Atlas of The World's Religions, (New York: Oxford University Press, 1999).  CM Pilkington, dalam bukunya, Judaism, malah menyebut jumlah Yahudi hanya 13 juta. Mereka kini tersebar utamanya di 10 negara, yaitu USA (5.800.000), Israel (5.300.000), Bekas Uni Soviet (879.800), Perancis (650.000), Kanada (362.000), Inggris (285.000), Brazil (250.000), Argentina (240.000), Hongaria (100.000), dan Australia (97.000). (Lihat, Pilkington, Judaism,  (London: Hodder Headline Ltd.,  2003).

Mengapa kita kalah? Hari-hari ini kita terus menyaksikan dan meratapi saudara-saudara kita dibantai satu per satu oleh kaum Yahudi. Kita hanya bisa memanjatkan doa, berteriak, marah, protes, demonstrasi, dan menggalang dana bantuan. Itulah yang bisa kita lakukan. Kita kalah, dan tidak berdaya menghadapi kondisi yang memilukan ini. Sama dengan nasib bangsa kita yang ratusan tahun dijajah oleh bangsa-bangsa mini.

Dunia mengutuk kekejaman Zionis Israel. Namun, Israel tidak peduli. Mereka merasa kuat karena jelas-jelas didukung oleh negara adikuasa AS dan sekutu-sekutunya. Sistem PBB sudah diatur sedemikian rupa sehingga tidak bisa merugikan kepentingan Israel. Jika sebelumnya banyak yang menaruh sedikit harapan pada Obama, maka harapan itu kini mulai sirna. Barack Obama ternyata tak beda dengan Presiden AS lainnya yang menempatkan Israel sebagai sekutu utamanya. Kita tunggu saja, apakah setelah ia resmi memangku jabatan Presiden AS nantinya, akan ada perubahan sikap. Kita pesimis, jika melihat sikapnya selama ini terhadap Israel.

Dalam berbagai propaganda Israel mengatakan bahwa mereka melakukan kebiadaban tersebut adalah dalam rangka untuk membela diri dari serangan-serangan roket Hamas. Propaganda ini adalah sangat keterlaluan kebohongannya. Kaum Zionis dan juga AS tidak mau melihat akar masalah Pelestina itu sendiri. Palestina adalah negara yang dijajah; tanah air mereka dirampas oleh kaum Yahudi dengan dukungan Barat, khususnya Inggris dan AS. Kita perlu ingat kembali, bahwa hingga kini ada sekitar 4 juta pengungsi Palestina yang terusir dari negaranya. Masih ada yang sejak tahun 1949 mereka hidup di tenda-tenda pengungsi yang tersebar di wilayah Lebanon dan sebagainya. Mereka tidak jelas nasibnya hingga kini, apakah akan diizinkan kembali ke tanah airnya atau tidak. Hak untuk kembali (Right to Return) senantiasa ditolak Israel.

Padahal, bangsa Palestina adalah korban dari kebiadaban kaum Kristen di Barat terhadap yahudi. Mereka tidak pernah membantai kaum Yahudi. Baratlah yang selama ratusan tahun membantai Yahudi. Bahkan, selama 800 tahun kaum Muslim di Andalusia menjadi pelindung kaum Yahudi. Begitu juga Turki Utsmani. Ketika pada tahun 1492 kaum Yahudi diultimatum oleh penguasa Kristen di Spanyol untuk pindah agama, dihukum mati, atau diusir dari Spanyol, maka ratusan ribu kaum Yahudi memilih untuk pergi dari Spanyol. Kemana mereka pergi? Tak lain mereka mengungsi ke wilayah-wilayah Turki Utsmani.

Meskipun memberikan gambaran yang tidak terlalu tepat terhadap perkembangan Islam, Encyclopedia Judaica masih mengakui bahwa sikap muslim terhadap Yahudi jauh lebih toleran dibandingkan sikap Kristen. Kata Encyclopedia ini: ”it displayed greater tolerance than Christianity.”  Setelah mengalami berbagai kekejaman di Eropa, kaum Yahudi di wilayah Utsmani merasakan hidup di tanah air mereka sendiri. Selama ratusan tahun mereka tinggal di sana, menikmati kebebasan beragama, dan berbagai perlindungan sebagai kaum minoritas dengan status sebagai ahlu zhimmah. Selama itu, kaum Yahudi tidak berpikir untuk memisahkan diri dari Utsmani.

Karen Armstrong, dalam bukunya, A History of Jerusalem mencatat, bahwa di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Agung (Suleiman the Magnificent--1520-1566), Yahudi hidup berdampingan dengan kaum muslim di Jerusalem. Sejumlah pengunjung Yahudi dari Eropa sangat tercengang dengan kebebasan yang dinikmati kaum Yahudi di Palestina. Pada tahun 1535, David dei Rossi, seorang Yahudi Italia, mencatat bahwa di wilayah Utsmani, kaum Yahudi bahkan memegang posisi-posisi di pemerintahan, sesuatu yang mustahil terjadi di Eropa. Ia mencatat, “Here we are not in exile, as in our own country. ‘Kami di sini bukanlah hidup di buangan, tetapi layaknya di negeri kami sendiri.’”

Kondisi Yahudi di Turki Utsmani itu begitu bertolak belakang dengan perlakuan yang diterima Yahudi di dataran Eropa, sehingga mereka harus mengungsi besar-besaran ke luar Eropa, dan terutama ke wilayah Utsmani. Padahal, ketika Spanyol berada di bawah pemerintahan Islam, kaum Yahudi  juga mengalami perlakuan yang sangat baik. Sejumlah penulis Yahudi menggambarkan kondisi Yahudi di Spanyol di bawah pemerintahan Islam ketika itu sebagai suatu “zaman keemasan Yahudi di Spanyol” (Jewish golden age in Spain).

Dalam buku Atlas of Jewish Civilization, Martin Gilbert mencatat tentang kebijakan penguasa muslim Spanyol terhadap Yahudi. Dia katakan, bahwa para penguasa muslim itu juga mempekerjakan sarjana-sarjana Yahudi sebagai aktivitas kecintaan mereka terhadap sains dan penyebaran ilmu pengetahuan. Maka mulailah zaman keemasan Yahudi di Spanyol; penyair, dokter, dan sarjana memadukan pengetahuan sekuler dan agama dalam metode yang belum pernah dicapai sebelumnya. Kaum Yahudi itu bahkan menduduki jabatan tertinggi di dunia muslim, termasuk perdana menteri beberapa khalifah di wilayah Islam bagian Timur dan Barat.

Karen Armstrong juga menggambarkan harmonisnya hubungan antara muslim dengan Yahudi di Spanyol dan Palestina. Menurut Armstrong, di bawah Islam, kaum Yahudi menikmati zaman keemasan di al-Andalus. Musnahnya Yahudi Spanyol telah menimbulkan penyesalan seluruh dunia dan dipandang sebagai bencana terbesar yang menimpa Israel sejak kehancuran (Solomon) Temple. Abad ke-15 juga telah menyaksikan meningkatnya persekusi anti-Semitik di Eropa, yang kaum Yahudi dideportasi dari berbagai kota. Sebagaimana Karen Armstrong, Avigdor Levy, penulis Yahudi dari Brandeis University, mencatat tentang kisah tragis pengusiran Yahudi dari Spanyol tahun 1492.

Itulah kebaikan dan perlindungan umat Islam terhadap Yahudi. Tapi, setelah melihat kekuatan Islam melemah, kaum Zionis kemudian justru berpaling ke Barat. Mereka justru tega merampas negeri Palestina untuk berdirinya Negara Yahudi. Anehnya, klaim-klaim teologis dan historis mereka kemudian didukung oleh Inggris dan AS.  Peristiwa holocaust yang sebenarnya bukan tindakan kaum Palestina justru dijadikan legitimasi untuk membunuh dan mengusir penduduk Palestina dan menggantinya dengan penduduk Yahudi.  Karena itu, tidaklah berlebihan jika dunia menilai, Zionisme sebagai satu bentuk rasisme. Resolusi Majlis Umum PBB No 3379, tahun 1975 menyatakan, bahwa  "Zionisme adalah sebentuk rasisme dan diskriminasi rasial."

Roeslan Abdulgani (Menlu RI periode 24 Maret 1956--28 Januari 1957) menulis bahwa salah satu jiwa pokok dari Konferensi Asia-Afrika Bandung, tahun 1955, adalah jiwa anti-Zionisme. Dalam konferensi tersebut Zionisme Israel oleh banyak delegasi dikatakan sebagai, "the last chapter in the book of old colonialism, and the one of the blackest and darkest chapter in human history  ‘bab terakhir dari buku kolonialisme kuno, dan satu di antara  bab yang paling hitam dan paling gelap dalam sejarah manusia.’”

Zionisme Israel, menurut Roeslan Abdulgani, pada hakikatnya adalah bentuk dan manifestasi dari nafsu untuk merampas tanah air bangsa lain, dengan cara-cara teroris dan kejam. Negara Israel yang didirikan pada tahun 1948, tidak hanya merampas tanah air rakyat Palestina yang tak berdosa, tetapi juga mengusir penduduk aslinya dengan teror dan kekerasan. Selanjutnya Roeslan menulis:

 "Zionisme boleh dikatakan sebagai kolonialisme yang paling jahat dalam zaman modern sekarang ini. Ia berbau rasialisme. Ia menyalahi agama Yahudi. Ia didukung oleh kekuatan-kekuatan internasional yang berjiwa reaksioner, baik dari kalangan Yahudi di Eropa Barat maupun di Amerika." (Roeslan Abdulgani, Indonesia Menatap Masa Depan,  (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1987),

Jadi, kekejaman dan kebiadaban Zionis Yahudi memang sudah masyhur dan dimaklumi oleh dunia internasional. Mayoritas negara-negara di dunia mengutuk tindakan Israel. Tapi, AS tetap mendukung kebiadaban Israel. Di sinilah kita melihat praktik nyata kebohongan Demokrasi yang digembar-gemborkan AS dan sekutu-sekutunya. Dalam struktur PBB sendiri dilestarikan sistem yang sangat otoriter dan sangat tidak demokratis. Kekuasaan PBB untuk melakukan aksi militer diberikan kepada Dewan Kemanan; sedangkan Dewan Keamanan sendiri sudah dikuasai oleh lima anggota tetap. Jika satu saja anggota tetap itu tidak setuju dengan satu resolusi, maka resolusi itu batal. Akhirnya, yang berkuasa bukanlah suara mayoritas, tetapi AS dan sekutu-sekutunya. Inilah satu bentuk kebohongan demokrasi yang sangat telanjang. Anehnya, begitu banyak pakar saat ini yang masih rajin menyanyikan lagu demokrasi dan membanggakan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia Islam. Satu kebanggaan yang berlebihan.

Tapi, kita memang tidak akan menyelesaikan masalah dengan mengumpat dan mencaci Israel dan para pendukungnya. Kita sendiri yang harus berubah. Sebab, kita kalah bukan karena pihak luar. Kita kalah karena kita sendiri. Karena kondisi kita memang layak untuk dikalahkan. Untuk mencari jawaban bagaimana supaya kita bisa menang, maka kata Yusuf Qaradhawi, kita memang harus kembali kepada Islam.  Tahun 2003 lalu, saat pembukaan KTT Organisasi Islam di Kuala Lumpur (16/10/2003), Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad kala itu juga sudah mengingatkan bahaya kekuasaan Yahudi di dunia. Mahathir mengajak umat Islam untuk melihat sejarah, bagaimana bangsa kecil yang ditindas dimana-mana selama ribuan tahun itu kini bisa menguasai dunia.

Dalam pidatonya tersebut, Mahathir Mohammad sebenarnya lebih menekankan, agar umat Islam belajar dari sejarah Yahudi. Bagaimana bangsa kecil yang mengalami penindasan selama ribuan tahun ini, berhasil survive (selamat) dan bahkan kemudian menjadi salah satu kekuatan dunia (world power). Ia menekankan, bahwa Yahudi selamat, lebih karena menggunakan “otak”, dan bukan hanya kekuatan fisik. “Muslims were up against people who think; people who survived 2000 years of pogroms not by hitting back, but by thinking.”

Yahudi, menurut Mahathir, mampu keluar dari keterpurukannya karena mereka menggunakan akalnya. Tapi, kita paham, bahwa akal saja tidaklah cukup. Yang penting juga adalah aqidah dan akhlak. Islam akan mampu meraih kemenangan jika mampu memadukan dua unsure yang tepat dalam perjuangan, yaitu kecerdasan dan keikhlasan. Betapapun hebatnya akal yang kita punya, betapa pun jitunya strategi yang kita terapkan, jika tidak dilakukan dengan keikhlasan, maka kemenangan pun tidak akan kunjung tiba. Keikhlasan dalam berjuang inilah yang memungkinkan kita mampu membuang jauh-jauh semangat ashabiyah dan golonganisme di tengah kita.

Mudah-mudahan aktivitas kita dalam berjuang membantu saudara-saudara kita di Palestina kita jalankan karena mencari keridhaan Allah; bukan untuk mencari pujian masyarakat bahwa organisasi kita termasuk yang paling aktif dalam perjuangan ini. Niat ikhlas itulah yang dinilai oleh Allah. [Solo, 2 Januari 2009/www.hidayatullah.com]


Catatan akhir pekan [CAP]  adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Membangun Manusia Merdeka


PDF
Print
E-mail


Monday, 29 December 2008 11:33
Oleh: Adian Husaini
Dalam rangka memperingati hari lahirnya yang ke-50, pada awal Desember 2008, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menyelenggarakan seminar tentang kemandirian bangsa. Oleh panitia seminar, dirumuskanlah tiga aspek kemandirian bangsa, yakni: (1) kemampuannya dalam menetapkan ideologi kebangsaan secara lugas dan tegas. Lugas sehingga bisa dipahami bangsa-bangsa lain bahwa kita memiliki dan menerapkan pandangan atau falsafah hidup kita sendiri. Tegas dalam arti tidak terpengaruh berbagai tantangan dan pendiktean ideologi bangsa lain yang tidak sejalan dengan milik kita, (2) kebolehannya dalam merumuskan, memutuskan dan menerapkan kebijakan-kebijakan negara tanpa campur tangan pihak-pihak lain secara berlebihan, (3) kemampuannya dalam menjaga dan mempraktikkan kedaulatannya atas wilayah, penduduk, dan sumberdaya yang ada di dalamnya.
Diskusi tentang ”bangsa mandiri” sudah berlangsung puluhan tahun, sejak Indonesia belum  merdeka, dan hingga kini belum pernah tuntas. Indonesia memang sangat majemuk. Untuk menentukan ideologi khas Indonesia, bukanlah hal yang mudah. Ideologi negara RI pernah diperdebatkan secara serius dalam sidang-sidang BPUPKI dan sidang-sidang Konstituante.  Soal Piagam Jakarta yang memuat naskah Dasar Negara (Pancasila) hingga kini masih terus didiskusikan. Kisah dibalik penghapusan tujuh kata  (… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya) masih tetap misterius dan masih menarik untuk diteliti lebih jauh. 
Beberapa buku seputar masalah ini diterbitkan, melengkapi buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI (terbitan Sekretariat Negara RI, 1995). Lihat, misalnya, buku   Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997). Juga, O.E. Engelen dkk., Lahirnya Satu Bangsa dan Negara, (Jakarta: UI Press, 1997), dan RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2004).
Kini, di era keterbukaan dan kebebasan informasi, aspirasi tentang ideologi bangsa semakin beragam dan terbuka, mulai gagasan negara sekular sampai negara khilafah. Biarlah wacana tentang ini terus bergulir. Ideologi apa yang akan dipilih oleh bangsa Indonesia ke depan, akan ditentukan oleh resultante pergumulan tiga aspirasi utama di Indonesia: Islam, Barat, dan ” Jawa”.
Kita tidak akan membahas masalah itu lebih lanjut. Pada catatan kali ini, kita ingin mengangkat satu unsur pokok dalam upaya membangun bangsa yang mandiri, yaitu bagaimana mewujudkan manusia-manusia Indonesia yang berjiwa mendiri, manusia merdeka. Sebab, semua akan sepakat, bahwa kemandirian bangsa Indonesia akan ditentukan oleh manusia Indonesia itu sendiri.  Manusialah yang menentukan, apakah satu bangsa itu mandiri atau tidak. Manusia itu adalah manusia yang merdeka, bukan manusia bermental budak yang tunduk kepada kekuatan di luar dirinya, tanpa kemampuan untuk menolaknya.
Meskipun sudah merdeka selama puluhan tahun, ternyata mencari sosok manusia Indonesia yang merdeka memang tidak mudah. Sebuah deskripsi yang sangat sinis tentang ciri-ciri umum manusia Indonesia pernah dilontarkan oleh budayawan Mochtar Lubis, dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977.
Inilah ciri-ciri umum manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis:  munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros, suka jalan pintas, dan sebagainya. Lebih jauh, simaklah uraian Mochtar Lubis berikut ini:
1.                   “Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah HIPOKRITIS alias MUNAFIK. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya atau pun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.”
2.                  “Ciri kedua utama manusia Indonesia masa kini adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakukannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan saya” adalah kalimat yang cukup populer pula di mulut manusia Indonesia.
3.                  “Ciri ketiga utama manusia Indonesia adalah jiwa feodalnya. Meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia ialah juga untuk membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat manusia Indonesia.”
4.                  “Ciri keempat utama manusia Indonesia adalah manusia Indonesia masih percaya takhayul. Dulu, dan sekarang juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuatan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua…”
5.                  “Kemudian, kita membuat mantera dan semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura, Ampera, orde baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang merata dan adil, insan pembangunan. Manusia Indonesia sangat mudah cenderung percaya pada menara dan semboyan dan lambang yang dibuatnya sendiri.”
6.                  “Ciri keenam manusia Indonesia punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat.   Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya. Makanya kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.”   
“Dia cenderung boros. Dia senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, berpesta-pesta. Hari ini ciri manusia Indonesia ini menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf, singkatnya segala apa yang serba mahal.”
“Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa… atau dengan mudah mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari kedudukan berpangkat cepat bisa menjadi kaya. Jadi priyayi, jadi pegawai negeri adalah idaman utama, karena pangkat demikian merupakan lambang status yang tertinggi.” (Uraian lebih jauh,  lihat, Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001). 
Tentu paparan Mochtar Lubis itu tidak seluruhnya benar, dan juga tidak seluruhnya salah. Tapi, bagaimana pun, stereotip yang diberikan oleh budayawan serba bisa ini bisa bermanfaat sebagai bahan             refleksi dan penilaian secara kritis. Jika faktanya, ciri-ciri umum manusia Indonesia itu memang seperti itu, maka sangat sulit diharapkan untuk membangun suatu bangsa yang mandiri. Jika manusia-manusia semacam itu yang bercokol di suatu institusi, maka sulit berharap institusi itu akan mandiri. Hanya manusia Indonesia yang merdeka dan berjiwa mandiri, yang akan dapat membangun bangsa yang mandiri.
Manusia-manusia egois yang lemah jiwa, munafik, cari aman sendiri, dan suka mencari jalan pintas  tentu sangat sulit diharapkan untuk membangun suatu bangsa yang sehat.  Masalahnya, masih adakan manusia Indonesia yang ikhlas berjuang untuk membangun bangsa tanpa meminta imbalan.  Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan, Mohammad Natsir – Pahlawan Nasional dan Pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia --  menulis sebuah artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.”  Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia pasca kemerdekaan dengan pra-kemerdekaan.
 “Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara  yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!”
Peringatan Moh. Natsir hampir 60 tahun lalu itu perlu dicermati oleh para elite bangsa. Bahwa, baru beberapa tahun saja kemerdekaan berlalu, banyak orang Indonesia sudah kehilangan orientasi, egois, serba pamrih, dan tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Mereka berpikir, bahwa perjuangan sudah selesai, dan seolah-olah tujuan bangsa sudah tercapai. Sudah merdeka. Cukup!. Maka, tiap tahun rakyat dihibur dengan pesta-pesta 17 Agustusan. Menurut mereka, sekarang bukan saat untuk berjuang, tetapi saatnya untuk menikmati hasil perjuangan.
Sikap cepat berpuas diri dan ingin cepat-cepat menikmati hasil perjuangan itulah yang dikritik oleh Natsir. Kata Natsir, jika bangsa ini tidak mau tenggelam dihantam gelombang tantangan zaman, maka bangsa ini tidak boleh berhenti ”mendayung”.  Untuk itu, Natsir berseru:
”Saudara baru berada di tengah arus, tetapi sudah berasa sampai di tepi pantai. Dan lantaran itu tangan saudara berhenti berkejauh, arus yang deras akan membawa saudara hanyut kembali, walaupun saudara menggerutu dan mencari kesalahan di luar saudara. Arus akan membawa saudara hanyut, kepada suatu tempat yang tidak saudara ingini... Untuk ini perlu saudara berdayung. Untuk ini saudara harus berani mencucurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani menghadapi lapangan perjuangan yang terbentang di hadapan saudara, yang masih terbengkelai... Perjuangan ini hanya dapat dilakukan dengan enthousiasme yang berkobar-kobar dan dengan keberanian meniadakan diri serta kemampuan untuk merintiskan jalan dengan cara yang berencana.” (M. Natsir, Capita Selecta 2, (Jakarta: PT Abadi, 2008, cet. Ke-2)          
Sebagai Muslim tentu kita yakin bahwa Indonesia akan menjadi negara besar dan disegani di arena internasional jika bangsa ini mau berpegang teguh kepada ajaran Islam. Sebab, bangsa ini adalah bangsa Muslim. Mayoritas penduduknya Muslim. Kita yakin, karakter ajaran Islam dan kekayaan sejarah Islam, akan mampu mengantarkan bangsa ini ke arah kebangkitan yang sebenarnya. Kita yakin itu. Karena kita Muslim.
Abul Hasan Ali an-Nadwi, ulama besar India, dalam bukunya Maadza Khasiral ’Alam bi-Inhithaathil Muslimin (Apa Kerugian Dunia Islam akibat Kemunduran kaum Muslim) menyebutkan, bahwa umat Islam adalah pemegang amanah risalah para Nabi dan Rasul Allah. Jika mereka lemah dan mundur, maka misi kenabian akan menjadi lemah. Umat Islam adalah bagaikan obat yang tugasnya menyembuhkan tubuh kemanusiaan. Banyak pemikiran Ali an-Nadwi yang menarik untuk dikaji. Natsir sendiri menganjurkan kaum Muslim Indonesia agar membaca buku-bukunya.
Tetapi, sejak zaman pra-kemerdekaan, para tokoh Islam sudah menawarkan konsep Islam sebagai dasar bagi negara RI. Dan kita tahu, usul itu ditolak oleh berbagai pihak, baik kaum non-Muslim maupun kaum sekular. Mereka lebih percaya kepada konsep-konsep lain untuk membangun bangsa ini. Tentu kita menghormati aspirasi mereka, meskipun kita tidak akan pernah berhenti menawarkan solusi Islam bagi kemanusiaan.
Sebagai pengemban amanah risalah dan pelanjut perjuangan para pendahulu kita, tugas kita sekarang bukan hanya membuktikan, bahwa secara konseptual Islam memang hebat. Tetapi, yang lebih penting adalah membuktikan konsep Islam itu dalam tataran realitas kehidupan kaum Muslim sendiri. Manusia-manusia Muslim harus menjadi manusia-manusia terbaik dan teladan di berbagai bidang kehidupan. Masyarakat Indonesia tidak akan mudah percaya kepada jalan Islam jika kaum Muslim sendiri – terutama para elitenya – gagal membuktikan ucapan-ucapan mereka sendiri.
Manusia-manusia Muslim haruslah menjadi sosok-sosok manusia merdeka. Mereka harus memiliki iman yang kokoh, rakus terhadap ilmu, kuat dan ikhlas dalam ibadah, berakhlak mulia, tidak diperbudak oleh hawa nafsu dunia, tigak gila harta, tidak gila kedudukan, dan gandrung popularitas. Kita tidak perlu menuntut orang lain untuk menjadi seperti itu. Tapi, diri kita dulu yang perlu bekerja dan berusaha sekuat tenaga agar menjadi ”manusia merdeka”.
Kita bisa bertanya pada diri kita masing-masing, untuk apakah kita berniat menjadi Presiden, menjadi guru, menjadi menteri, menjadi anggota DPR, menjadi wartawan, menjadi mahasiswa, menjadi ketua organisasi, dan sebagainya?  Apakah semua posisi itu ingin kita raih dengan tujuan untuk beribadah dan berjuang di jalan Allah, atau hanya untuk memenuhi syahwat duniawi?  Apakah kita masih mau berlomba-lomba menjadi caleg, jika gaji anggota DPR disamakan dengan gaji guru SD/TK?
Jika kehidupan sudah dikuasai nafsu syahwat duniawi, maka kaum Muslim perlu memikirkan serius langkah perjuangan mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw:   ‘Hendaklah kalian tetap melaksanakan amar makruf dan nahi munkar, hingga apabila engkau melihat egoisme yang ditaati, hawa nafsu yang dijadikan panutan, dunia yang diutamakan, dan tiap orang pandai bangga dengan pendapatnya sendiri, dan engkau mendapati persoalan terlalu sulit diatasi,  maka saat itu hendaklah engkau sibuk dengan diri sendiri dan tinggalkan (kecenderungan) kebanyakan orang. Sesungguhnya di hadapan kalian ada masa-masa dimana bertahan dengan kesabaran ibarat sedang menggenggam bara api. Orang yang berbuat pada masa-masa itu mendapat pahala yang setara dengan pahala lima puluh orang di antara kalian’.” (HR Baihaqi dan Ibn Majah).
Jika kondisi sudah rusak dan terlalu sulit diperbaiki, maka pelu dipikirkan tindakan al-insihab wal ’audah (proses menarik diri untuk kembali). Tindakan ini tidak lari dari persoalan masyarakat, melainkan justru ingin melakukan perubahan mendasar terhadap masyarakatnya. Melalui gerakan ini, dilepaskanlah kecenderungan publik (yang dikuasai syahwat dunia) dan  dilakukanlah pembenahan internal untuk bersiap-siap melakukan gerakan lain yang strategis di masa depan. Dalam proses ini, dilakukan evalusasi serius  dan pembenahan terhadap pemikiran, kondisi jiwa dan perilakunya. Sebab, perjuangan membutuhkan pemikiran yang benar (sahih), amal ibadah yang sungguh-sungguh, dan keikhlasan yang tinggi.
Perjuangan harus dilakukan oleh manusia-manusia merdeka, yang tidak dijajah oleh hawa nafsu, tidak dirasuki sifat hubbud-dunya, riya’, dengki, dan berbagai penyakit lainnya.  Wallahu A’lam. [Depok, 26 Desember 2008/www.hidayatullah.com]
Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com