Pages

Friday 27 June 2014

Maklumat 1 Syawal 1428H 


Disadur dari email pak Ustadz Muntaha tahun 2007 - 

Assalamu'alaikum...,

Memang masalah "ru'yat" dan "hisab" dan juga "kriteria" tentang standarisasi yang dianggab mu'tabar masih belum bisa disepakati oleh tokoh-tokoh ormas Islam di Indonesia. Sebagai contoh tahun 1981 antara Persis dan Muhammadiyah yang sama-sama menggunakan "hisab" ternyata dalam menentukan hari raya juga berbeda. PBNU yang  berpegang dengan ru'yat ternyata juga berbeda pada tahun kemarin, PWNU Jatim merayakan lebih dulu satu hari dari keputusan PBNU.
Dan kalau dicari-cari dalil-dalil baik dari nash-nash Al-Qur'an dan Hadits-hadits dan juga dalil 'aqli (science) antara ru'yah dan hisab sama-sama kuat. Dan sebenarnya tidak akan ada perselisihan antara nash dan sciences dalam masalah hilal ini sebab obyeknya jelas dan satu.
Wallahu a'lam, dalam mengambil jalan keluar ini mungkin sekali lagi harus ditinjau dari maqashid 'idul Fitri setelah memadukan (jam') semua dalil, sebab kedua-dua kubu sama-sama berpegang dengan dalil.
Untuk meninjau maqashid syari'ah (tujuan-tujuan disyaria'tkan suatu hukum) dalam 'idul fitri, ada beberapa pandangan lain:
1. Puasa adalah ibadah bersama-sama, dan idul Fitri adalah ibadah perayaan kebersamaan, Rasulullah SAW bersabda: "As Shoumu yauma Tashumuna wal Fitru yauma tuftirun" (Hari berpuasa adalah pada hari di mana kamu semua berpuasa, dan hari (idul) fitri adalah dimana kamu semua merayakan 'idul fitri". Hadits ini sangat jelas mengedepankan persatuan umat, yang bisa jadi kurang begitu banyak mendasari pihak-pihak yang berwenang dalam menentukan hari Raya atau awal puasa.
Seandainya hadits ini dijadikan sebagai dasar tentu akan sangat mudah menyatukan awal dan akhir puasa Ramadhan.
2. Tujuan 'iedul Fitri adalah perayaan kegembiraan umat Islam , dan seringkali orang "menghibur diri" dengan menyatakan bahwa orang Indonesia sudah biasa berbeda, atau perbedaan dalam amaliah beragama itu adalah rahmat. Sepertinya jika ada mertua dan menantu yang berbeda merayakan 'idul fitri dalam satu rumah, yang satu berpuasa wajib dan satu lagi mewajibkan dirinya berbuka, tentu sama sekali bukan ini yang diharapkan dalam Islam yang penuh rahmat. Begitu juga antara suami istri yang berbeda pilihan, pasti akan banyak mengalami hambatan sosial. Sebab jauh dari tujuan asal disyari'atkannya 'idul fitri, juga termasuk tindakan yang sulit untuk dinalarkan. Dan menimbulkan implikasi dan dampak sosial yang kurang sehat.
3. Tidak semua perbedaan itu rahmat, dalam ilmu fikih hampir setiap permasalahan mulai dari thaharah sampai bab jihad sarat dengan perbedaan pendapat; tapi tidak semua perbedaan pendapat itu rahmat. Kita jadi ingin sekali mendapatkan tokoh sekaliber Ibnu Mas'ud RA, yang pada waktu Utsman bin Affan menjadi khalifah, ketika Utsman naik haji dan mabit di Mina, Utsman melaksanakan shalat Zhuhur dan Ashar sebanyak masing-masing empat rakaat. Oleh Ibnu Mas'ud ketika mendengar berita kontroversial tersbut Utsman R.A. dianggap telah meninggalkan sunnah Rasulullah SAW, sebab Rasulullah hanya shalat 2 raka'at 2 raka'at. Meskipun beliau secara prinsip tidak setuju dengan Utsman yang menyempurnakan empat rakaat, tapi ketika Ibnu Mas'ud shalat berjamaah di Mina di belakang Utsman R.A., ia shalat seperti shalatnya Utsman R.A. Ketika orang-orang mempertanyakan hal itu, Ibnu Mas'ud berkata, "Al-Khilafu Syarun (Berselisih itu  jelek). Hadist Riwayat Abu Dawud.
Benarkah Utsman R.A meninggalkan sunnah dalam masalah ini?, sebelum tergesa-gesa mengambil keputusan mungkin posisi usman dihadapan Nabi SAW akan mencairkan masalah, adakah Utsman yang hidup lama bersama Nabi SAW tidak mengetahui sunnah? tentu tidak, beliaulah orang yang sangat faham dengan sunnah. Untuk melihat lagi mengapa Utsman menyempurnakan empat rakaat, perlu waktu tersendiri yang tentu saja saat ini bukan pada topik pembahasan.
Yang menjadi hikmah adalah Ibnu Mas'ud menganggap bahwa diantara perbedaan itu ada yang jelek, mungkin kalau beliau saat ini ada juga akan berpendapat bahwa beda hari raya di satu kampung bahkan satu rumah adalah termasuk yang jelek tersebut.
4. Amrul hakim yarfa'ul khilaf (Keputusan ulil Amri dapat menghilangkan perbedaan pendapat). Mungkin di antara masyarakat yang dalam mengartikan demokrasi terlalu jauh adalah masyarakat kita; untuk 'idul Fitri pada tahun kemarin di Indonesia ada 4 hari berbeda, dan yang terakhir pada hari Rabu -kalau tidak salah- 1 syawal dirayakan oleh sebuah kelompok pengajian.
Kalau di negeri Islam lainnya, tidak terhitung ilmuan dan ulama' yang punya pendapat berbeda-beda dan punya kapabilitas yang tidak diragukan, baik dari kalangan ahli ru'yah ataupun hisab, tapi semua hanya berwacana dan semua hanya mengusulkan dan memberikan yang terbaik. Begitulah di Mesir, Saudi, negara-negara Timur Tengah, dan juga Malaysia. Dan pada giliran mengumumkan Idul Fitri  ulama'-ulama' dan ilmuan-ilmuan hanya berani menunggu keputusan "Hakim", yang terkadang kata ini di masyarakat kita seringkai hanya muncul ketika orang tidak punya wali dan mau menikah, sehingga walinya wali hakim. Itu semua disebabkan adanya kaidah besar dalam ilmu Fikih bahwa "Amrul Hakim Yarfa'ul Khilaf". Disinilah mungkin pentingnya surat an Nisa': 59, tentang urgensi ta'at kepada Allah, Rasulullah dan Ulil Amri.
Sebagai contoh kongkrit adalah catatan sipil pernikahan yang menjadikan adanya wali bagi calon pengantin wanita adalah syarat sahnya pernikahan, di semua KUA di Indonesia menyeragamkan pelaksanaan ini dan tidak memberikan toleransi kepada yang berpendapat lain, meskipun ada dalam khazanan fikih Islam yang legal. Dan alhamdulillah semua masyarakat menikmati keseragaman ini dan merasakan rahmatnya.
5. Yang menentukan 'idul 'Idul Fitri dan Shalat 'Ied bukan individu. Semenjak zaman Rasulullah SAW wacana individu dalam menganalisa dan mencari hilal selalu hasil akhirnya disampaikan dan dikembalikan kepada yang berwenang, Rasulullah SAW, dan sepeninggal beliau adalah khulafa'ul Rasyidin dan begitulah selanjutnya. Di Indinesia ada berpuluh-puluh ormas Islam, kalau seandainya semuanya membuat tim ru'yah dah hisab mungkin akan semakin menambah runyam.
Mungkin DEPAG adalah salah satunya wadah yang dapat mengakomodasi semua ormas-ormas tersebut dengan pakar-pakarnya masing-masing; yang pertemuannya tidak hanya sekedar ketika menjelang hari raya tapi terus intensif memantau setiap awal bulan Hijirah untuk menemukan kriteria dan akhirnya keputusan diambil dari sidang akbar dengan niat yang tulus ikhlas ingin mencari yang benar.  
6. Hati kecil masyarakat Islam menginginkan hari raya yang satu. Kalau diminta memilih antara dua hal, berhari raya berbeda atau beda hari raya dalam satu negeri, kemungkinan besar akan banyak yang memilih dan berharap agar hari raya jatuh pada hari yang sama.
Akhirnya, mudah-mudahan ke depan kriteria untuk menyatukan dapat ditemukan oleh tokoh-tokoh dan yang ahli dalam bidangnya dan menjadi hari raya yang satu, dan itu insya Allah dapat dicapai jiga ada "keinginan untuk islah dan bersatu".
Allah SWT mengingatkan tentang kemungkinan bersatunya kembali pasangan suami istri yang sudah berselisih, "in yuridaa al-Ishlaha yawaffiqillahu baynahuma" (Kalau mereka berdua (suami istri) menginginkan untuk islah (berbaik-baikan lagi), maka Allah akan memberikan taufiq (jalan keluar dan langkah tepat) di antara mereka berdua, tapi kuncinya jika memang menginginkan. Tapi jika memang pasangan tersebut tidak ingin bersatu dari manakah akan ada jalan. Mungkin keinginan inilah yang harus dikedepankan untuk mendapatkan taufiq dalam penentuan berhari raya.
Wallahu a'lam.
Mohon maaf bagi yang tidak berkenan
muntaha

No comments: