Pages

Monday 7 July 2014

Pendidikan Karakter -1

Tulisan pak Nurhono dalam email beliau di Miling List - Muslim KL 
Bagian pertama. 
Monday, June 28, 2010 at 10:13 PM

Assalamu'alaikum wr wb,
Alhamdulilah, cuti yang bermuatan perjalanan intelektual dan perjalanan rohani kami beserta keluarga,selama 2-3 minggu yang lalu di Jakarta, dengan izin dan ridho Allah SWT telah selesai menyampaikan amanah kawan2 paguyuban umat Islam KL, untuk menyerahkan dana beasiswa periode ketiga, langsung kepada koordinator program kaderisasi Ulama DDII, Dr.Adian Husaini. Bukti penerimaannya dapat dilihat dalam "attachment file" email. Lihat pula email mas Munji yang ada dibawah ini untuk penjelasan detailnya beserta websitenya jika mau mengakses lebih jauh mengenai program dan pelaksanannya. 

Alhamdulilah pula, pada setiap hari sabtunya (jam 10-12 siang) kami juga dapat mengikuti diskusi dikantor INSISTS, Kalibata Utara,tingkat dua, yang juga adalah kantor toko buku Gema Insani. Kebetulan pula Dr.Adian Husaini yang mengisinya dengan topik "Pendidikan Karakter, Penting tapi tidak Cukup". Ini juga merupakan oleh2 dari beliau untuk bapak2 dan ibu2 umat islam di KL. Untuk detailnya, lihat file terlampir, hasil scanning artikel lengkap diskusi sabtuan tersebut yang dilakukan mas Eko Heru Prayitno, Program Manager INSISTS (Institute for the Study of Islamic thought and Civiliztion), yang bertanggung jawab terhadap website selama ini.

Tanpa terasa, INSISTS, yang didirikan oleh murid-murid Prof.Dr.Naquib al-Attas yang berasal dari Indonesia, bersama dengan para simpatisasnnya, ternyata sudah berumur 7 tahun dengan cita-cita agung yang akan melanjutkan dan menreuskan perjuangan cita-cita2 mulia mengembangkan megaproyek "Tradisi ilmu menuju bangkitnya peradaban Islam di Indonesia. Sunnguh sangat terharu, dan agung cita-cita ini. Itulah sebabnya dalam rapat INSIST minggu yang lalu, kamipun diberitahukan telah dicanangkan untuk mendirikan "Universitas Islam Internasional di Indonesia" yang rencananya akan berlokasi didaerah Depok-Sentul. Gambaran singkat tentang apa, siapa dan bagaimana INSISTS yang sudah ber-"HUT" pada tahun ke tujuh, ditulis dengan cantiknya oleh bang Adian dalam artikel terlampir berjudul "Dari Tradisi ilmu ke Peradaban Islam, Catatan 7 tahun INSISTS berdiri".

Selanjutnya, rangkuman tentang diskusi Pendidikan Karakter tersebut, dapat dibaca dalam tulisan dibawah ini, namun artikel lengkapnya dapat dibaca dalam file terlampir :

Bang Adian, panggilan akrab kepada beliau menguraikan tentang gejala semakin hilangnya pendidikan yang mengahasilkan manusia yang berkarakter. Beliau mensitir pendapat Almarhum KH.Dr.Moh.Natsir, salah satu pahlawan nasional, yang tampaknya percaya betul dengan ungkapan Dr GJ Nieuwenhuis "Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya."

Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah guru dan pengorbanan. Maka itu, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak guru-guru yang suka berkorban. Guru yang dimaksud Natsir bukan sekadar guru pengajar dalam kelas formal. Guru adalah para pemimpin, orang tua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. Guru adalah digugu (didengar) dan ditiru (dicontoh). Guru bukan sekadar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.
Mohammad Natsir adalah contoh guru sejati, meski tidak pernah mengenyam pendidikan di fakultas keguruan dan pendidikan. Hidupnya dipenuhi dengan idealisme tinggi untuk memajukan dunia pendidikan dan bangsanya. Setamat AMS (Algemene Middel-bare School) di Bandung, dia memilih terjun langsung ke dalam perjuangan dan pendidikan. Ia mendirikan Pendis (Pendidikan Islam) di Bandung. Di sini. Natsir memimpin, mengajar, mencari guru dan dana. Terkadang, ia keliling ke sejumlah kota mencari dana untuk keberlangsungan pendidikannya. Kadangkala, perhiasan istrinya pun diga- dalkan untuk menutup uangkontrak tempat sekolahnya.
Di samping itu, Natsir juga melakukan terobosan dengan memberikan pelajaran agama kepada murid-murid HIS, MU-LO, dan Kweekschool (Sekolah Guru). Ia mulai mengajar agama dalam bahasa Belanda. Kumpulan naskah pengajaran-nya kemudian dibukukan atas permintaan Sukarno saat dibuang ke Endeh, dan diberi judul Komt tot Gebeid (Marilah Shalat).
Pada 17 Agustus 1951, hanya enam tahun setelah kemerdekaan RI, M Natsir melalui sebuah artikelnya yang berjudul Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut, Natsir mengingatkan bahaya besar yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu mulai memudarnya semangat pengorbanan. Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia setelah kemerdekaan dengan prakemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, kata Natsir, bangsa Indonesia sangat mencintai pengorbanan. Hanya enam tahun sesudah kemerdekaan, segalanya mulai berubah. Natsir menulis "Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau... Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai.. .Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu, dan merajalela sifat serakah... Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya...."
Peringatan Natsir hampir 60 tahun lalu itu perlu dicermati oleh para elite bangsa, khususnya para pejabat dan para pendidik. Jika ingin bang-sa Indonesia menjadi bangsa besar yang disegani di dunia, wujudkanlah guru-guru yang mencintai pengorbanan dan bisa menjadi teladan bagi bangsanya. Beberapa tahun menjelang wafatnya, Natsir juga menitipkan pesan kepada sejumlah cendekiawan yang mewawancarainya, "Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia." Lebih jauh, kata Natsir "Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang baru, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang baru ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, melainkan bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius."
Seorang dosen fakultas kedokteran pernah menyampaikan keprihatinan kepada saya. Berdasarkan survei, separuh lebih mahasiswa kedokteran di kampusnya mengaku, masuk fakultas kedokteran untuk mengejar materi. Menjadi dokter adalah baik. Menjadi ekonom, ahli teknik, dan berbagai profesi lain, memang baik. Tetapi, jika tujuannya adalah untuk mengeruk kekayaan, dia akan melihat biaya kuliah yang dikeluarkan sebagai investasi yang harus kembali bila lulus kuliah. Ia kuliah bukan karena mencintai ilmu dan pekerjaannya, melainkan berburu uang!
Dunia Pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran dana besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu me-mecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, beriman, bertakwa, profesional, dan berkarakter. Dr Ratna Megawangi dalam bukunya, Semua Berakar pada Karakter (Jakarta Lembaga Penerbit FE-UI, 2007), mencontohkan, bagaimana kesuksesan Cina dalam menerapkan pendidikan karakter sejak awal tahun 1980-an. Menurut dia, pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik sehingga akhlak mulia bisa terukur menjadi habit of the mind, heart, and hands.
Banyak program pendidikan gagal, karena memang tidak serius untuk diamalkan. Dan lebih penting, tak ada contoh!
Kini, sebagaimana dikatakan Natsir, yang dibutuhkan bangsa ini adalah guru-guru sejati yang cinta berkorban untuk bangsanya. Bagaimana, murid akan berkarakter; jika setiap hari dia melihat pejabat mengumbar kata-kata, tanpa amal nyata. Bagaimana anak didik akan mencintai gurunya, sedangkan mata kepala mereka menonton guru dan sekolahnya materialis, mengeruk keuntungan sebesar-besarnya melalui lembajp pendidikan.
Pendidikan karakter adalah perkara besar. Bukan urusan Kementerian Pendidikan semata. Presiden, menteri, anggota DPR, dan para pejabat lainnya harus memberi teladan.
Jangan minta rakyat hidup sederhana, hemat BBM, tapi rakyat dan anak didik dengan jelas melihat, para pejabat sama sekali tidak hidup sederhana dan mobil-mobil mereka - yang dibiayai oleh rakyat - adalah mobil impor dan sama sekali tidak hemat.

Sebagai penutup, kami juga dipertemukan oleh Allah SWTdengan cendekiawan kharismatik dan tawadhu, Dr.Hamid fahmy Zarkasyi,yang lahir di Ponorogo pada tanggal 13 september 1958, putra ke-9 KH.Imam Zarkasyi, pendiri Ponpes Gontor, yang juga merupakan direktur INSISTS, sekaligus juga Pimpinan Redaksi majalah ISLAMIA (yang sudah terbit sampai 12 seri) dan juga Direktur Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS, Markaz al-Dirasat al-Islamiyah wa al-Gharbiyyah) yang merupakan salah satu biro penelitian dan pengkajian di Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Darussalam Gontor.

Alhamdulilah beliau sedang berada di KL, dan sudah menyanggupi untuk berbicara dalam pengajian IATMI pada hari jumat malam, tanggal 2 Juli 2010. Kunjungan beliau adalah khusus untuk meluncurkan buku dari thesis Phd beliau yang berjudul 'Al-Ghazali Concept of Causality", disamping menghadiri berbagai macam workshop di beberapa universitas terkenal di KL Malaysia. Kebetulan pula di ISTAC, UIIM, besok tgl 29-30, akan diadakan konferensi internasional ke II, mengenai Islamic Science". Sungguh minggu2 yang sangat bermakna di KL,bagi mereka yang dengan cermat mengikuti terus perkembangan dakwah Islam bergengsi dan tentunya berkualitas di kampus Islam Internasional.

Di Ponpes Gontor pun, melalui ISID (Institut Study islam Darussalam), bekerjasama dengan Departemen Agama dan MUI, menyelenggarakan program kaderisasi Ulama ISID Gontor selama 6 bulan, yang baru saja selesai pada Program Angkatan III, program yang sejalan dengan program kaderisasi Ulama DDII. Alhamdulilah, di mesjid Depok UI (bekerja sama dengan DISC, Depok Islamic Study Circle) dan kantor INSISTS, saya sempay menyaksikan presentasi kader2 lulusan program ini dalam kajian prestisus berjudul "Feminisme dalam Timbangan Islam, dan Hermeneutika dalam pandangan Islam. Merekapun tour dakwan d ITB, mesjid salman, memberikan presentasi Feminisme dan HAM dalam Islam. hal yang yang serupa minggu yang lalu juga di lakukan di Universitas Surabaya dan brawijaya Malang. Subhanallah, tour dakwah yang sungguh sangat berharga dan mulia, bagi bangkitnya pemikiran Islam yang kafah, dalam rangka membangun network para cendekiawan Islam yang berbasis Pondok pesantren dan Universitas Umum. Semoga kajian2 serius tersebut, dapat juga secara perlahan-lahan namun pasti, tumbuh subur dari para cendekiawan Islam yang tinggal di KL, khususnya cendekiawan IATMI dan sejenisnya.

Demikian info sekilas, semoga ada manfaatnya, dan dapat mencerahkan pemikiran dan rohani umat khususnya bagi umat Islam KL, untuk dapat selalu mendukung proyek mulia untuk membendung gerakan sistimatis Liberalisasi, Sekularisasi dan Pluralisme Agama, melalui program sistimatis jangka pendek berupa pendidikan kaderisas Ulama, dan dalam jangka panjang usaha untuk pendirian Universitas Islam Internasional di Indonesia.

Mohon maaf jika kurang berkenan.

Salam perjuangan dakwah Islamiyah,
Wassalamu'alaikum wr wb,
Hamba Allah yg dhoif,
A.Nurhono

No comments: