Tulisan dibawah ini di sadur dari email di Muslim KL - tanggal 25 Desember 2010 oleh pak Nurhono.. terimaksih atas postingan nya pak.
Assalamu'alaikum wr wb,
Hari khamis, 23 Des 2010 yang lalu, sebagaimana biasanya setiap 1 bulan sekali, INSISTS diberi ruang pada Koran Republika menulis pada edisi Islamia, Jurnal Pemikiran Islam. Kali ini kajiannya adalah tentang "Studi Kristology". Untuk membantu memudahkan sahabat2 kaum muslimin dan muslimat IATMI-KL, mendalami masalah ini khususnya di bulan Desember ini ketika berhadapan dengan issue perayaan Natal, maka dari Jakarta kami lampirkan beberapa file dari artikel2 edisi tersebut :
1. Umat islam Tidak Toleran ?
2. Natal Ibadah kaum Kristen.
3. Studi Kristology.
4. Bisakah suatu fatwa dicabut, sikap Buya Hamka terhadap fatwa MUI : Natal Bersama .
5. Arsyad Thalib Lubis_kristolog Batak kharismatik.
6. KH.Abdullah syafie_Ulama Pejuang.
7. Kecerdasan _Oleh2 Dr,Hamid Fahmy Zarkasyi_Insists Duta RI.
Selamat membaca....semoga bermanfaat, semoga semakin mencerahkan kehidupan beragama umat dan pemikiran Islam , Amin.
Wassalamu' alaikum wr wb,
A.Nurhono
Assalamu'alaikum wr wb,
Hari khamis, 23 Des 2010 yang lalu, sebagaimana biasanya setiap 1 bulan sekali, INSISTS diberi ruang pada Koran Republika menulis pada edisi Islamia, Jurnal Pemikiran Islam. Kali ini kajiannya adalah tentang "Studi Kristology". Untuk membantu memudahkan sahabat2 kaum muslimin dan muslimat IATMI-KL, mendalami masalah ini khususnya di bulan Desember ini ketika berhadapan dengan issue perayaan Natal, maka dari Jakarta kami lampirkan beberapa file dari artikel2 edisi tersebut :
1. Umat islam Tidak Toleran ?
2. Natal Ibadah kaum Kristen.
3. Studi Kristology.
4. Bisakah suatu fatwa dicabut, sikap Buya Hamka terhadap fatwa MUI : Natal Bersama .
5. Arsyad Thalib Lubis_kristolog Batak kharismatik.
6. KH.Abdullah syafie_Ulama Pejuang.
7. Kecerdasan _Oleh2 Dr,Hamid Fahmy Zarkasyi_Insists Duta RI.
Selamat membaca....semoga bermanfaat, semoga semakin mencerahkan kehidupan beragama umat dan pemikiran Islam , Amin.
Wassalamu' alaikum wr wb,
A.Nurhono
Studi Kristologi
Wednesday, 22 December 2010 12:56
Written by Adian Husaini
Sejak
kemunculan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, Islam sudah harus
berhadapan dengan berbagai agama yang eksis sebelumnya. Salah satunya adalah
agama Kristen, yang saat itu sudah menyebar di berbagai wilayah di Jazirah
Arab. Al-Quran juga memberikan banyak penjelasan tentang agama ini. Nabi
Muhammad saw mengirimkan delegasi pengungsi Muslim, hijrah dari Mekkah ke
Habsyah (Ethiopia) untuk mencari suaka pada Raja Najasyi yang kala itu masih
beragama Kristen.
Kaum Quraisy yang tidak rela dengan kepergian kaum
Muslim segera mengirimkan utusan khusus kepada Najasyi agar mengusir kembali
kaum Muslim tersebut. Raja Najasyi diprovokasi. Kepada Najasyi dan para pendeta
Kristen, Amr bin Ash dan Amarah – dua utusan Quraisy -- menyatakan, bahwa
orang-orang Islam tidak akan mau bersujud kepada Raja. Ketika kaum Muslim
dipanggil menghadap Raja, mereka diperintahkan, “Bersujudlah kalian kepada
Raja!”. Dengan tegas Ja’far menjawab, “Kami tidak bersujud kecuali kepada
Allah semata.”
Memang, dalam pandangan Islam, tugas terpenting dari
misi kenabian adalah menegakkan kalimah tauhid (QS 16:36), dan memberantas
kesyirikan. Dalam al-Quran disebutkan, Lukmanul Hakim mengajarkan anaknya agar
jangan melaksanakan dosa syirik, sebab syirik adalah kezaliman yang besar. (QS
31:13). Menyekutukan Allah adalah tindakan yang tidak terampuni dan tidak
beradab. Allah adalah al-Khaliq dan manusia adalah makhluk. Manusia tidak patut
disetarakan dengan Allah. Di antara manusia saja – antara pejabat dan rakyat –
misalnya, dibeda-bedakan status dan perlakuannya. Apalagi, antara makhluk
dengan al-Khaliq, tentulah ada status yang sangat berbeda.
Salah satu titik sentral dari penjelasan al-Quran
tentang agama Kristen terletak pada status Nabi Isa a.s., yang dalam Islam
diakui sebagai Nabi dan Rasul; bukan Tuhan dan bukan anak Tuhan. Bahkan,
Al-Quran menyebutkan, bahwa Allah SWT sangat murka karena dituduh punya anak.
(QS 19:88-91). Polemik soal ini sudah berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad
saw, saat Nabi saw melayani diskusi dan debat dengan delegasi Kristen Najran.
Toleransi
Meskipun secara tegas mengoreksi berbagai dasar-dasar kepercayaan Kristen,
umat Islam tidak menolak kehadiran dan keberadaan kaum Kristen. Sejarah Islam
diwarnai dengan berbagai bentuk interaksi antara pemeluk kedua agama ini.
Al-Quran tidak melarang kaum Muslim untuk berbuat baik terhadap kaum agama
lain. Sejak awal, umat Islam sudah diajarkan untuk menerima kesadaran akan
keberagaman dalam agama (pluralitas). Misalnya, dalam surat Al Mumtahanah ayat
8 disebutkan,
"Allah
tidak mencegahmu berbuat baik kepada mereka yang tidak memerangimu dan tidak
mengusirmu dari kampung halamanmu." Bahkan, Nabi Muhammad saw berpesan,
"Barangsiapa menyakiti seorang dzimmi, maka sungguh ia menyakitiku, dan
barangsiapa menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah." (HR Thabrani).
Prestasi Rasulullah saw dalam membangun peradaban yang
unggul di Madinah dalam soal membangun toleransi beragama kemudian diikuti oleh
Umar bin Khattab yang pada tahun 636 M menandatangani Perjanjian Aelia dengan
kaum Kristen di Jerusalem. Sebagai pihak yang menang Perang, Umar bin Khathab
tidak menerapkan politik pembantaian terhadap pihak Kristen. Karen Armstrong
memuji sikap Umar bin Khatab dan ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan
Jerusalem, yang belum pernah dilakukan para penguasa mana pun sebelumnya. Karen
Armstrong mencatat:
“Umar
juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama)
monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan
kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang
sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya
sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen
menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak
ada pembakaran symbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atau
pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk
Islam. Jika sikap respek terhadap penduduk yang ditaklukkan dari Kota Jarusalem
itu dijadikan sebagai tanda integritas kekuatan monoteistik, maka Islam telah
memulainya untuk masa yang panjang di Jerusalem, dengan sangat baik tentunya.”
(Dikutip dan diterjemahkan dari buku Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper
Collins Publishers, 1997)
Studi kristologi
Disamping catatan-catatan indah tentang sejarah toleransi antar umat
beragama, sejarah Islam juga dipenuhi dengan munculnya ribuan ilmuwan dalam
studi agama-agama lain, khususnya studi Kristen (Kristologi) di berbagai
penjuru dunia. Penjelasan yang cukup melimpah tentang Kristen dan kaum Nasrani
dalam al-Quran dan hadits Nabi Muhammad saw, telah mendorong banyak ilmuwan Muslim
menekuni secara serius studi Kristologi. Imam Syahrastani, Abul Qahir
al-Baghdadi, Ibn Hazm, al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, Ibn Taimiyah, dan
sebagainya adalah sebagian kecil dari ulama Islam yang ’bertungkus lumus’ dalam
mengkaji bidang Kristologi.
Uniknya, dalam mengkaji berbagai agama, para ulama
Islam tetap mengacu kepada perspektif Tauhid, bukan pada perspektif humanisme
sekuler yang netral agama. Dalam perspektif ini, unsur subjektif dan objektif
dipadukan sekaligus. Para ulama Islam, tetap melakukan studi agama-agama secara
objektif, yakni mengkaji fakta dengan seobjektif mungkin. Tetapi, ketika
menilai fakta itu, maka mereka menggunakan posisi (cara pandang) Islam, bukan
cara pandang netral agama.
Contoh yang menarik adalah kajian yang dilakukan oleh
ilmuwan ’ensiklopedik’ Abu Rayhan Muhammad Ibn Ahmad al-Biruni
(362/973-443/1051), yang lebih dikenal dengan nama al-Biruni. Dalam disertasi
doktornya di International Institute of Islamic Thought and Civilization
(ISTAC), Kuala Lumpur, yang berjudul Early Muslim Scholarship in
Religionswissenschaft, Dr. Kamaroniah Kamaruzaman menyatakan, bahwa metode
studi agama yang digunakan oleh al-Biruni dalam studi agama-agama masih sangat
relevan digunakan sampai saat ini. Studi agama-agama model al-Biruni – dan para
ulama Islam lainnya – mampu memadukan antara objektivitas dan akurasi dengan
keyakinan akan kebenaran Islam itu sendiri. Dengan kata lain, al-Biruni
mengkaji berbagai agama, tanpa harus meninggalkan keyakinannya sebagai Muslim.
Perlu dicatat, al-Biruni adalah ilmuwan multi-disiplin
ilmu. Prof. Mulyadi Kartanegara, dalam bukunya, Pengantar Epistemologi Islam, (2003), mencatat, bahwa pada abad
ke-11 itu al-Biruni, dengan menggunakan rumus-rumus matematika, sudah
mampu menghitung keliling bumi sebesar 24.778,5 mil. Ilmu pengetahuan modern
sekarang mencatat, keliling bumi adalah 24.585 mil. Sedangkan diameter bumi
diukurnya sebesar 7.878 mil. Kini, ilmuwan modern menemukan diameter bumi
adalah 7.902 mil.
Di tengah berbagai kegiatan penelitian ilmiahnya di
bidang sains, al-Biruni juga menyempatkan diri menekuni bidang studi
agama-agama selama bertahun-tahun dan menulis kitab yang monumental di bidang
ini, yakni Kitab al-Hind dan Kitab al-Atsar. Dalam Kitab al-Hind, al-Biruni
menegaskan, bahwa agama yang haq hanya satu, yakni ad-Dinul Islam.
Kata al-Biruni: ”Fainna maa ‘adaa al-haqq
zaaigh wa al-kufru millah wahidah min al-inhiraaf ‘anhu.”
Di Indonesia, studi Kristologi sudah berlangsung
berabad-abad lalu. Salah satu karya monumental di bidang ini adalah kitab Tibyan Fii Ma’rifatil Adyan, karya ulama
Aceh Nuruddin ar-Raniry. Kitab Tibyan ditulis Raniry atas permintaan Sulthanah
Safiyyah al-Din Shah, sekitar tahun 1642-1644. Tujuannya tak lain untuk menjaga
aqidah umat. Kitab ini mengkaji berbagai jenis agama dan kepercayaan selain
Islam. Pakar pendidikan dan epistemology Melayu, Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan
Daud menilai ditulisnya kitab Tibyan Fii
Ma’rifatil Adyan sebagai bentuk kepedulian dan kepekaan penguasa terhadap
kesucian agama, dengan merujuk kepada ulama yang paling hebat dan berpengaruh
kala itu.
Kedatangan penjajah Belanda di Indonesia semakin
menyuburkan kajian-kajian Kristologi di Tanah Air Indonesia. Catatan
sejarah menunjukkan, bahwa Pangeran Diponegoro memilih untuk meninggalkan
istana Mataram juga dipicu oleh kesadaran agamanya. Dalam Babad Cakranegara disebutkan, adalah
Pangeran Diponegoro sendiri yang menolak gelar putra mahkota Kerajaan Mataram
dan merelakan tahta untuk adiknya R.M Ambyah. Latar belakangnya, untuk menjadi Raja,
yang mengangkat adalah orang kafir (Belanda). Diponegoro tidak ingin
dimasukkan kepada golongan orang-orang murtad. Ini merupakan hasil tafakkurnya
di Parangkusuma. Dikutip dalam buku Dakwah Dinasti Mataram: “Rakhmanudin dan
kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, ingatkan padaku, bahwa
saya bertekad tak mau dijadikan pangeran mahkota, walaupun seterusnya akan
diangkat jadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin. Saya
bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak
urung menanggung dosa (Babad Diponegoro,
jilid 1 hal. 39-40).
Arus besar Kristenisasi di Indonesia pada awal abad
ke-20 semakin menggalakkan banyak ulama dan kaum Muslim untuk melakukan studi
Kristologi. Tujuannya tak lain untuk membendung arus Kristenisasi. Dalam
disertasi doktornya yang kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Membendung Arus: Repons Gerakan
Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Dr. Alwi Shihab
mencatat: “… sebagai organisasi
yang paling aktif membendung misi-misi Kristenisasi, Muhammadiyah secara
terbuka berupaya menganggulangi pasang naik kegiatan misionaris Kristen dalam
berbagai cara.”
Juga, tulis Alwi Shihab: ”kehadiran misi
Kristen dan penetrasi mereka ke negeri ini, serta pengaruh yang mereka
desakkan, menjadi faktor pendorong utama yang memicu munculnya semangat
keagamaan KH Ahmad Dahlan yang menggebu-gebu, yang pada gilirannya menyebabkan
lahirnya Muhammadiyah. Kehadiran dan penetrasi Kristen terutama adalah hasil
upaya kolonialisme Belanda dalam memupuk semangat misi Kristen.”
Semangat membendung arus Kristenisasi di
Indonesia itulah yang antara lain banyak mendorong lahirnya ratusan – mungkin
ribuan -- Kristolog-kristolog Muslim di Indonesia. Tentu saja, sejalan
dengan dinamika dan tantangan zaman, studi-studi kristologi di Indonesia perlu
ditingkatkan lebih serius, baik dari segi isi, metodologi, maupun sistametika.
Apa yang telah dirintis oleh para kristolog terdahulu sudah seharusnya dikaji
ulang, dan jika perlu dikembangkan lebih baik lagi. (***)
No comments:
Post a Comment