Ajaran Freemason Cikal Bakal Paham Pluralisme.
Catatan Kunci, Dialog DR.Adian Husaini bersama jamah IATMI KL
Paham pluralisme yang
semakin kompleks dan semakin berbahaya perkembangannya di Indonesia dewasa ini,
dan sangat dirasa perlu untuk diketahui asal usulnya secara mendasar, bagaimana
konsepsi karakteristik philiosophy pemikirannya, dari mana pengaruh itu, siapa
tokok-tokohnya, dan bagaimana pengaruh paham pemikiran ini dalam dunia
pemikiran umat Islam Indonesia dewasa ini.
Istilah pluralisme
agama tak hanya terjadi belakangan saja, istilah itu sudah pernah dikampanyekan
gerakan freemanson dan theosofi dengan doktrin “Semper, ubique et ab
omnibus”. Paham yang mengatakan pada inti semua agama adalah sama
tidak terlepas dari pengaruh Freemason. Gerakan ini bermula ketika
pengikut Freemason membentuk gerakan The Theosophical Society. Dalam
perkembangannya, The Theosophical Society ikut menyumbang bagi
terwujudnya hikmah abadi (sophia perennis). Pemikiran para tokoh Sophia
Perennis seperti Rene Guénon dan Frithjof Schuon tidak terlepas dari ajaran
dalam Freemason.
Pada tanggal 17 November 1875, beberapa pengikut Freemason membentuk The
Theosophical Society di New York. Seiring dengan perjalanan waktu. The
Theosophical Society berkembang pesat di berbagai negara. Pada akhir abad 19,
The Theosophical Society memiliki 500 cabang dalam 40 negara di Asia dan Barat.
The Theosophical Society di Perancis didirikan pada tahun 1887 oleh Gérard
Encausse (1865-1916), juga seorang Mason. Encausse yang dikenal sebagai Papus
adalah guru pertama Rene Guénon (1886-1951). Pemikiran Guénon mengenai gagasan
spritualisme dan Tradisi agama-agama tidak terlepas dari pengaruh pemikiran
Papus. Gagasan Guénon dikembangkan lebih jauh lagi oleh Frithjof Schuon
(1907-1998).
Dalam pandangan Schuon, sekalipun dogma, hukum, moral, ritual agama adalah
berbeda, namun nun jauh di kedalaman masing-masing agama, ada ‘a common
ground’. Menurut Schuon, agama-agama bertemu pada level transendent. Gagasan
bahwa semua agama pada intinya adalah sama, merupakan inti pemikiran Schuon.
Freemason dan Teosofi
Freemason menurut Encyclopaedia of Religion and Ethics (New
York), adalah sistem moral khusus, ditutupi dengan kiasan serta diilustrasikan
dengan simbol-simbol. Para sejarawan dari kalangan Freemason berpendapat
paling tidak terdapat 3 teori yang menjelaskan sebab-musabab munculnya Freemason.
Pertama, Freemason muncul sangat lama sekali seiring dengan klaim ritual
Freemason itu sendiri, yaitu ketika Raja Salomo mendirikan Bait Suci dan
Freemason sampi kepada kita sehingga kini sekalipun mekanismenya tidak
diketahui.
Kedua, Freemason adalah hasil dari karya para pembuat bangunan pada
zaman pertengahan. Ketiga, ritual Freemason berasal dari Laskar
Kristus yang menjaga Bait Suci Salomo (King Solomon’s Temple) atau
dikenal juga sebagai Ksatria Bait Suci (Knight Templar). (baca
Christopher Knight & Robert Lomas, The Hiram Key: Pharaohs,
Freemasons and the Discovery of the Secret Scrolls of Jesus).
Freemason telah tersebar di benua Eropa. Salah satu fakta awal yang
tertulis menunjukkan bahwa cabang Freemason telah ada di Inggris pada
tahun 1641.
Robert Moray, salah seorang keluarga raja (Royal family), telah masuk menjadi
anggota Freemason di Edinburgh pada tanggal 20 Mei 1641. Selain itu, Elias Ashmole,
masih dalam lingkungan keluarga Raja Inggris, menulis dalam buku diarinya bahwa
ia telah menjadi anggota Freemason di Lancashsire, pada tanggal 16
Oktober 1646. (Francis A. Yates, The Rosicrucian Enlightenment).
Babak baru perkembangan Freemason adalah pada tanggal 24 Juni 1717.
Sebabnya, pada tanggal tersebut Freemason telah menjadi organisasi
Nasional dengan didirikannya Grand Lodge of England, yang merupakan
gabungan dari 4 cabang Freemason. Para pengikut Freemason dalam Grand
Lodge of England akan mengikuti agama yang semua manusia setuju… yaitu,
menjadi Manusia yang Baik dan Benar (Religion is which all men agree… that
is, to be Good Men and True).
Dengan terbentuknya Grand Lodge of England, gerakan Freemason semakin
merebak sehingga berkembang melintasi benua Eropa sehingga ke benua Amerika.
George Washington, yang menjadi President pertama Amerika Serikat pada tanggal
30 April 1789 adalah seorang anggota Freemason. Selain itu, para penanda
tangan Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang ditandatangani pada tanggal 4 Juli
1778 oleh William Hoper, Benjamin Franklin, Matthew Thornton, William Whipple,
John Hancock, Phillip Livinston dan Thomas Nelson, kesemua mereka adalah
pengikut Freemason.
Semua Agama Sama
Setelah mengurai sejarah Freemason dengan sangat ringkas, ada baiknya
kita melihat bagaimana pengikut Freemason ikut mempelopori terbentuknya
paham yang menyamakan agama.
George Felt, seorang Freemason Yahudi, pada tanggal 7 September 1875
memberikan kuliah tentang “The Lost Canon of Proportion of the Egyptians,”
di apartment Helena Petrovena Blavatsky (1831-1891), seorang aristokrat Rusia
yang meninggalkan suami dan kemewahan harta karena merantau ke pegunungan Tibet
selama bertahun-tahun.
George Felt memfokuskan materi
kuliahnya kepada penafsiran mistis tehadap ajaran (tradisi) Mesir yang hilang.
Salah seorang peserta yang mengikuti kulian tersebut, Henry Steel Olcott,
seorang pengikut Freemason di New York, mengusulkan supaya semua peserta
(berjumlah 17 orang) yang telah mengiktui kuliah George Felt agar membentuk
sebuah kelompok yang akan meneliti lebih mendalam lagi mengenai tradisi kuno.
Blavatsky, guru Olcott menyetujui proposal tersebut. Sotheran, seorang Freemason,
mengusulkan nama The Theosophical Society (Masyarakat Teosofis) bagi
kelompok tersebut.
Akhirnya, pada tanggal 17 November, 1875 diadakan pertemuan dengan 18 orang
(termasuk George Felt) dan pada tanggal itu ditetapkan sebagai awal berdirinya The
Theosophical Society.
Dalam pidatonya peresmiannya, kolonel Henry Steel Olcott (1832-1907), berharap
kelompok tersebut akan membuat penelitian dalam perbandingan agama dan juga
untuk menemukan “ancient wisdom,” khususnya dalam sumber sumber primer
dari semua agama, buku-buku Hermes dan Veda (primeval source of all
religions, the books of Hermes and the Vedas), dengan perkataan lain dalam
Filsafat Abadi.
Setelah kematian Olcott pada
tahun 1907, posisi ketua dipegang oleh Annie Wood Besant (1847-1933). Besant,
berasal dari Inggris, masuk menjadi anggota Theosophical Society pada tahun
1889 dan menjadi ketua gerakan tersebut dari tahun 1907 sampai akhir hidupnya
(1933).
Menurut Besant, teosofi ataupun agama universal (universal religion)
dibangun atas 2 fondasi, yaitu Tuhan sebagai immanent sekaligus transendent dan
solidaritas atau persaudaraan semua manusia.
Sebuah doktrin keagamaan akan diuji dengan prinsip "Semper, ubique et
ab omnibus" (Selalu, dimana saja dan dari semua). Besant juga
merumuskan ajaran teosofis sebagai berikut: (1) the unity of God (kesatuan
Tuhan). Ajaran mendasar dari teosofi sebagaimana semua agama adalah kebenaran
agama universal. (2) The Trinity of the manifested God (Inkarnasi
Tuhan dalam Trinitas) Tuhan termanifestasikan sebagi Logos. (3) The
hierarchy of beings (tingkatan wujud). (4) Universal brotherhood (persaudaraan
universal), yang berbeda dengan konsep ‘kesetaraan’ (equality) ataupun
‘demokrasi’ (democracy).
Besant juga menyatakan tujuan masyarakat Teosofis adalah mengajarkan kepada
pengikutnya bahwa agama-agama adalah ungkapan dari hikmah ilahi yang lahir dan
berasal dari zat yang satu. Oleh sebab itu, keragaman dan perbedaan dalam
manifestasi lahiriah dan bentuk bukanlah inti dari ajaran agama. Semua agama memiliki keaslian dan kebenaran karena
berasal dari zat yang satu.
Ringkasnya, sejak dibentuk oleh 18 orang anggota di New York, The
Theosophical Society telah berkembang menjadi organisasi internasional.
Pada tahun 1879, markasnya dipindahkan ke Bombay, India. Tiga tahun setelah itu
(1882), markasnya sekali lagi dipindahkan ke Adyar, pinggiran Madras. Akhir
abad 19, The Theosophical Society telah memiliki 500 cabang dalam 40
Negara di Asia dan Barat, termasuk cabang yang ada di Perancis, yand diikuti
oleh Gérard Encausse (m. 1916) pada tahun 1887.5.
Tertarik
dengan gagasan Olcott dan Blavatsky, Gérard Encausse, seorang Freemason mendirikan
cabang The Theosophical Society di Perancis. Nama samarannya dikenal
sebagai Papus.
Ia
mendirikan Free School of Hermetic Sciences, sebuah sekolah yang
mengkaji tentang mistis. Encausse menghidupkan kembali ajaran Martinist
Order. Nama lengkap De Saint-Martin adalah Louis-Claude de Saint-Martin,
seorang Freemason dan bekas pegawai tentara yang punya ketertarikan
dengan mistis dan Hermes.
Sebagaimana
dalam buku Against the Modern World: Traditionalism and the
Secret Intellectual History of the Twetieth Century (OOxford: Oxford
University Press, 2004), Martin meyakin, “Semua tradisi bumi harus
dilihat sebagai berasal dari tradisi-ibu yang fundamental bahwa, dari awal,
telah dipercayakan kepada laki-laki yang berdosa dan kepada keturunannya yang
pertama.
(All the traditions of the earth must be seen
as deriving from a fundamental mother-tradition that, from the beginning, was
entrusted to sinful man and to his offspring).
Pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh Count
Joseph de Maistre, juga seorang Freemason dan teman dekat Saint-Martin
bahwam “Agama yang benar lahir pada hari ketika [semua] hari dilahirkan…,
Konsep yang kabur [mengenai orang-orang kuno] tidak lain disebabkan banyaknya
dari sedikit kelemahan dari tradisi primitive yang tinggal. (The True
religion…was born on the day that [all] days were born…, The vague conceptions
[of the ancients] were no more than the more of less feeble remains of the
primitive tradition).
Pada tahun 1906, Rene Guénon (1886-1951), yang
kelak menjadi pelopor Filsafat Abadi (Filsafat
Perenial’), masuk ke sekolahnya Encausse. Disana, Guénon bukan saja mulai
mengenali kajian mistis (occult studies), namun juga berkenalan dengan
sejumlah tokoh Freemason, teosofi dan berbagai gerakan spiritual yang
lain.
Guénon
aktif menggelar berbagai kongres, seminar, diskusi dan aktifitas tentang mistis
dan Freemason di Perancis. Ringkasnya, Freemason merupakan
ketertarikan Guénon yang paling besar sepanjang hidupnya (it remained of
Guénon’s great interests throughout his life).
Bagi Guénon, Freemason adalah wadah dari
luasnya hikmah tradisional, kaya khususnya dalam simbolisme dan ritual. Guénon
juga yakin bahwa Freemason adalah cara untuk menjaga banyak aspek dari Kristen
yang telah hilang dan terabaikan.
Guénon (m.1951) menghidupkan kembali
nilai-nilai, hikmah, kebenaran abadi yang ada pada Tradisi dan agama. Guénon
(m. 1951), menyebutnya sebagai Primordial Tradition (Tradisi
Primordial). Guénon, yang awalnya Katolik, selanjutnya “memeluk” Islam pada
tahun 1912. (nama Islamnya Abdul Wahid Yahya).
Bagaimanapun, selama kehidupannya di Perancis,
Guénon tidak dikenal telah mempraktekkan ritual Islam. Guénon berpendapat bahwa
ilmu yang utama sebenarnya adalah ilmu tentang spiritual. Ilmu yang lain harus
dicapai juga, namun ia hanya akan bermakna dan bermanfaat jika dikaitkan dengan
ilmu spiritual.
Menurut
Guénon, substansi dari ilmu spiritual bersumber dari supranatural dan
transendent. Ilmu tersebut adalah universal. Oleh sebab itu, ilmu tersebut
tidak dibatasi oleh suatu kelompok agama tertentu. Ia adalah milik bersama
semua Tradisi Primordial (Primordial Tradition).
Perbedaan
teknis yang terjadi merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan
Kebenaran. Perbedaan tersebut sah-sah saja karena setiap agama memiliki
kontribusinya yang unik untuk memahami Realitas Akhir.
Pengalaman
spiritual Rene Guénon (m.1951) dalam gerakan teosofi dan Freemason mendorongnya
untuk menyimpulkan bahwa semua agama memiliki kebenaran dan bersatu pada pada
level Kebenaran. Salah seorang tokoh penerus pemikiran Guénon adalah Frithjof
Schuon (1907-1998).
Sejak
berusia 16 tahun, ia telah membaca karya Guénon, Orient et Occident.
Kagum dengan pemikiran Guénon, Schuon saling berkirim surat dengan Guénon selama
20 tahun.
Setelah
berkorespodensi sekian lama, akhirnya, untuk pertama kalinya Schuon bertemu
dengan Guénon di Mesir pada tahun 1938.
Schuon
“memeluk” Islam dan dikenal sebagai Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Darquwi
al-Alawi al-Maryami. Ia adalah seorang tokoh terkemuka dalam religio
perennis (Agama Abadi).
Ia
menegaskan prinsip-prinsip metafisika tradisional, mengeksplorasi
dimensi-dimensi esoteris agama, menembus bentuk-bentuk mitologis dan agama
serta mengkritik modernitas.
Ia
mengangkat perbedaan antara dimensi-dimensi tradisi agama eksoteris dan
esoteris sekaligus menyingkap titik temu metafisik antar semua agama-agama
ortodoks. Ia mengungkap Satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak
Terbatas dan Maha Sempurna. Ia menyeru supaya manusia dekat kepada-Nya.
Dalam
pandangan Schuon, sekalipun dogma, hukum, moral, ritual agama adalah berbeda,
namun nun jauh di kedalaman masing-masing agama, ada ‘a common ground’.
Ia berpendapat agama-agama mengandung dimensi eksoterik dan esoterik.
Kedua
dimensi ini yang inheren dalam agama berasal dari dan diketahui melalui Intelek
(Intellect). Menurut Schuon, secara psikologis, ego manusia terkait
dengan badan (body), otak (brain) dan hati (heart). Jika badan diasosiasikan dengan eksistensi
fisik, otak dengan fikiran (mind), maka hati (heart) dengan
Intelek.
Jika
dikaitkan dengan realitas, maka Intelek dapat diasosiasikan dengan Esensi Tuhan
(Yang Satu) dan langit (alam yang menjadi model dasar) sedangkan fikiran dan
badan meliputi dunia fisik, terrestrial. Intelek sangat penting karena otak dan
badan di bawah kendali, dan berasal dari Intelek.
Intelek adalah pusat manusia (the centre of
human being), yang bersemayam di dalam hati. Kualifikasi intelektual harus didampingi dengan
kualifikasi moral. Jika tidak, maka secara spiritual, Intelek tidak akan
berfungsi. Hubungan antara ‘intelektualitas’ dan ‘spiritualitas’ adalah
bagaikan hubungan antara pusat dan pinggiran. Intelektualitas menjadi
spiritualitas ketika manusia sepenuhnya, bukan Intelektualitasnya saja, hidup
di dalam kebenaran.
Intelek lebih tinggi dari rasio karena jika rasio itu menyimpulkan sesuatu berdasarkan kepada data, maka mental berfungsi karena eksistensi intelek. Rasio hanyalah media untuk menunjukkan jalan kepada orang buta, bukan untuk melihat. Sedangkan Intelek, dengan bantuan rasio, terungkap dengan sendirinya secara pasti. Selain itu, Intelek dapat menggunakan rasio untuk mendukung aktualisasinya.
Di
dunia fisik, Intelek terbagi menjadi fikiran (mind) dan badan (body).
Namun, hanya di dunia fisik Intelek terbagi. Di alam langit yang menjadi model
dasar, atau di dalam Ide Plato, fikiran dan badan merupakan makna yang tidak
dibedakan: Fikiran adalah eksistensi dan eksistensi adalah fikiran.
Manusia
memahami kebenaran melalui intuisi. Sebagai sebuah daya, Intelek adalah dasar
bagi intuisi. Intuisi intelek membedakan antara yang ril dan ilusi, antara
wujud yang wajib dan wujud yang mungkin. Implikasinya, ada realitas transenden
diluar dunia bentuk.
Dengan
Intelek, manusia mengetahui bahwa Realitas dapat dibagi menjadi dua, Absolut
dan relatif, Ril dan ilusi, Yang Harus dan mungkin, yang esoteris dan
eksoteris. Menurut Schuon, agama-agama bertemu pada level yang esoteris, bukan
eksoteris. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai esoteris dan eksoteris
dalam pemikiran Schuon.
Eksoterisme dan Esoterisme
Menurut
Schuon, eksoteris adalah aspek eksternal, formal, hukum, dogmatis, ritual,
etika dan moral sebuah agama. Eksoteris berada sepenuhnya di dalam Maya, kosmos
yang tercipta. Dalam pandangan eksoteris, Tuhan dipersepsikan sebagai Pencipta
dan Pembuat Hukum bukan Tuhan sebagai Esensi karena eksoterisme berada di dalam
Maya, yang relatif dalam hubungannya dengan Atma. Pandangan eksoteris bermakna
pandangan yang eksklusif, absolut dan total, sekalipun dari sudut pandang
intelek adalah relatif.
Menurut
Schuon, pandangan eksoteris, bukan saja benar dan sah bahkan juga keharusan
mutlak bagi keselamatan (salvation) individu. Bagaimanapun, kebenaran
eksoteris adalah relatif. Inti dari eksoteris adalah ‘kepercayaan’ kepada
“huruf”,--sebuah dogma esklusifistik (formalistik)--dan kepatuhan terhadap
hukum ritual dan moral. Selain itu, eksoterisme tidak pernah akan melampaui
individu. Eksoterisme bukan muncul dari esoterisme, namun muncul dari Tuhan.
Schuon
menyadari jika masing-masing “form” agama meyakini bahwa sesuatu “form” itu
lebih hebat dibanding dengan “form” yang lain. Pemikiran seperti itu, lanjut
Schuon, sangat wajar. Perpindahan agama terjadi justru karena adanya
superioritas sebuah “form” terhadap yang lain. Bagaimanapun,
superioritas tersebut sebenarnya relatif.
Menurut
Schuon, Islam misalnya, lebih baik dari Hindu karena memuat bentuk terakhir
dari Sanatana Dharma. Schuon mengatakan.: “…Sama halnya, bahwa Agama Hindu
adalah form yang paling tua yang masih hidup mengimplikasikan bahwa agama
tersebut memiliki superioritas tertentu atau sentralitas dibanding dengan
bentuk yang terakhir (Islam)”.
Esoteris
adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Tanpa esoterisme, agama akan
teredusir menjadi sekedar aspek-aspek eksternal dan dogmatis-formalistik.
Esoterisme dan eksoterisme saling melengkapi. Esoteris bagaikan “hati” dan
eksoteris bagaikan ‘badan’agama. Menurut Schuon, titik-temu agama bukan berada
pada level eksoteris. Sekalipun agama hidup di dalam dunia bentuk (a world
of forms), namun ia bersumber dari Esensi yang Tak Berbentuk (the
formless Essence). Agama memiliki dimensi esoteris yang berada di atas
dimensi eksoteris. Titik temu antar agama hanya ada pada level esoteris.
Melalui
esoterisme, manusia akan menemukan dirinya yang benar. Pandangan esoteris akan
menolak ego manusia dan mengganti ego tersebut menjadi ego yang diwarnai dengan
nilai-nilai ketuhanan. Esoterisme menembus simbol-simbol eksoterisme.
Sekalipun terkait secara inheren kepada eksoterisme, esoterisme independen dari
aspek eksternal, bentuk, formal agama. Independensi tersebut karena
esensi dari esoterisme adalah kebenaran total. Kebenaran yang tidak terbatas
dan tidak teredusir kepada eksoterisme, yang memiliki keterbatasan.
Pemaparan
ringkas diatas menunjukkan gagasan Guenon dan Schuon yang memformulasi kesamaan
agama dalam level esoteris adalah hasil interaksi mereka dengan para tokoh
Freemason dan Teosof. Gagasan pada intinya semua agama sama disebarkan pada
awalnya oleh para pengikut Freemason, yang ingin merelevansikan
ajaran-ajaran Yahudi, mistis, dan “hikmah kuno” (ancient wisdom) ke
zaman modern.
No comments:
Post a Comment