Mahathir Mohammad pernah mengatakan, umat Islam seharusnya
bisa belajar dari sejarah Yahudi. Apa maksudnya? Baca Catatan Akhir Pekan [CAP]
Adian Husaini ke-253
Oleh: Adian Husaini
[Solo, 2 Januari 2009/www.hidayatullah.com]
Tahun 1969, menyusul kekalahan Arab dalam Perang Tahun 1967,
Dr. Yusuf Qaradhawi menulis satu buku berjudul: ”Dars an-Nukbah ats-Tsaniyah:
Limadza Inhazamnaa wa Kaifa Nantashir.” (Diterbitkan di Indonesia tahun 1988
oleh Pustaka Bandung dengan judul: ”Mengapa Kita Kalah di Palestina?). Dalam bukunya, al-Qaradhawi menegaskan:
”Satu hal yang amat saya tegaskan di sini adalah keharusan
kita untuk kembali kepada Islam. Islam yang benar. Islam yang menyeluruh yang
mengembalikan diri kita – sebagaimana yang dulu pernah terjadi – menjadi
sebaik-baik ummat yang pernah dihadirkan untuk seluruh ummat manusia. Tanpa kembali kepada Islam, maka nasib yang
akan kita alami, sungguh amat mengerikan, dan masa depan pun akan demikian
gelap gulitanya.”
Mengapa kita kalah di Palestina? Itulah pertanyaan yang
sudah menggayuti kaum Muslimin sejak puluhan tahun lalu. Mengapa umat Islam
yang jumlahnya sekitar 1,4 milyar jiwa tidak berdaya menghadapi kekejaman dan
kebiadaban Zionis-Yahudi yang jumlahnya hanya beberapa juta saja. Perlu kita
renungkan, bahwa jumlah kaum Yahudi di seluruh dunia hanyalah sekitar 15 juta
jiwa.
Dalam Atlas of The World's Religions, disebutkan jumlah pemeluk agama Yahudi 15.050.000. Pemeluk Islam adalah
1.179.326.000, dan pemeluk Kristen 1.965.993.000. (Ninian Smart, Atlas of The
World's Religions, (New York: Oxford University Press, 1999). CM Pilkington, dalam bukunya, Judaism, malah
menyebut jumlah Yahudi hanya 13 juta. Mereka kini tersebar utamanya di 10
negara, yaitu USA (5.800.000), Israel (5.300.000), Bekas Uni Soviet (879.800),
Perancis (650.000), Kanada (362.000), Inggris (285.000), Brazil (250.000),
Argentina (240.000), Hongaria (100.000), dan Australia (97.000). (Lihat,
Pilkington, Judaism, (London: Hodder
Headline Ltd., 2003).
Mengapa kita kalah? Hari-hari ini
kita terus menyaksikan dan meratapi saudara-saudara kita dibantai satu per satu
oleh kaum Yahudi. Kita hanya bisa memanjatkan doa, berteriak, marah, protes,
demonstrasi, dan menggalang dana bantuan. Itulah yang bisa kita lakukan. Kita
kalah, dan tidak berdaya menghadapi kondisi yang memilukan ini. Sama dengan
nasib bangsa kita yang ratusan tahun dijajah oleh bangsa-bangsa mini.
Dunia mengutuk kekejaman Zionis
Israel. Namun, Israel tidak peduli. Mereka merasa kuat karena jelas-jelas
didukung oleh negara adikuasa AS dan sekutu-sekutunya. Sistem PBB sudah diatur
sedemikian rupa sehingga tidak bisa merugikan kepentingan Israel. Jika
sebelumnya banyak yang menaruh sedikit harapan pada Obama, maka harapan itu
kini mulai sirna. Barack Obama ternyata tak beda dengan Presiden AS lainnya
yang menempatkan Israel sebagai sekutu utamanya. Kita tunggu saja, apakah
setelah ia resmi memangku jabatan Presiden AS nantinya, akan ada perubahan
sikap. Kita pesimis, jika melihat sikapnya selama ini terhadap Israel.
Dalam berbagai propaganda Israel
mengatakan bahwa mereka melakukan kebiadaban tersebut adalah dalam rangka untuk
membela diri dari serangan-serangan roket Hamas. Propaganda ini adalah sangat
keterlaluan kebohongannya. Kaum Zionis dan juga AS tidak mau melihat akar
masalah Pelestina itu sendiri. Palestina adalah negara yang dijajah; tanah air
mereka dirampas oleh kaum Yahudi dengan dukungan Barat, khususnya Inggris dan
AS. Kita perlu ingat kembali, bahwa hingga kini ada sekitar 4 juta pengungsi
Palestina yang terusir dari negaranya. Masih ada yang sejak tahun 1949 mereka
hidup di tenda-tenda pengungsi yang tersebar di wilayah Lebanon dan sebagainya.
Mereka tidak jelas nasibnya hingga kini, apakah akan diizinkan kembali ke tanah
airnya atau tidak. Hak untuk kembali (Right to Return) senantiasa ditolak
Israel.
Padahal, bangsa Palestina adalah
korban dari kebiadaban kaum Kristen di Barat terhadap yahudi. Mereka tidak
pernah membantai kaum Yahudi. Baratlah yang selama ratusan tahun membantai
Yahudi. Bahkan, selama 800 tahun kaum Muslim di Andalusia menjadi pelindung
kaum Yahudi. Begitu juga Turki Utsmani. Ketika pada tahun 1492 kaum Yahudi
diultimatum oleh penguasa Kristen di Spanyol untuk pindah agama, dihukum mati,
atau diusir dari Spanyol, maka ratusan ribu kaum Yahudi memilih untuk pergi dari
Spanyol. Kemana mereka pergi? Tak lain mereka mengungsi ke wilayah-wilayah
Turki Utsmani.
Meskipun memberikan gambaran yang
tidak terlalu tepat terhadap perkembangan Islam, Encyclopedia Judaica masih
mengakui bahwa sikap muslim terhadap Yahudi jauh lebih toleran dibandingkan
sikap Kristen. Kata Encyclopedia ini: ”it displayed greater tolerance than
Christianity.” Setelah mengalami
berbagai kekejaman di Eropa, kaum Yahudi di wilayah Utsmani merasakan hidup di
tanah air mereka sendiri. Selama ratusan tahun mereka tinggal di sana,
menikmati kebebasan beragama, dan berbagai perlindungan sebagai kaum minoritas
dengan status sebagai ahlu zhimmah. Selama itu, kaum Yahudi tidak berpikir
untuk memisahkan diri dari Utsmani.
Karen Armstrong, dalam bukunya, A
History of Jerusalem mencatat, bahwa di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Agung
(Suleiman the Magnificent--1520-1566), Yahudi hidup berdampingan dengan kaum
muslim di Jerusalem. Sejumlah pengunjung Yahudi dari Eropa sangat tercengang
dengan kebebasan yang dinikmati kaum Yahudi di Palestina. Pada tahun 1535,
David dei Rossi, seorang Yahudi Italia, mencatat bahwa di wilayah Utsmani, kaum
Yahudi bahkan memegang posisi-posisi di pemerintahan, sesuatu yang mustahil
terjadi di Eropa. Ia mencatat, “Here we are not in exile, as in our own
country. ‘Kami di sini bukanlah hidup di buangan, tetapi layaknya di negeri
kami sendiri.’”
Kondisi Yahudi di Turki Utsmani
itu begitu bertolak belakang dengan perlakuan yang diterima Yahudi di dataran
Eropa, sehingga mereka harus mengungsi besar-besaran ke luar Eropa, dan
terutama ke wilayah Utsmani. Padahal, ketika Spanyol berada di bawah
pemerintahan Islam, kaum Yahudi juga
mengalami perlakuan yang sangat baik. Sejumlah penulis Yahudi menggambarkan
kondisi Yahudi di Spanyol di bawah pemerintahan Islam ketika itu sebagai suatu
“zaman keemasan Yahudi di Spanyol” (Jewish golden age in Spain).
Dalam buku Atlas of Jewish
Civilization, Martin Gilbert mencatat tentang kebijakan penguasa muslim Spanyol
terhadap Yahudi. Dia katakan, bahwa para penguasa muslim itu juga mempekerjakan
sarjana-sarjana Yahudi sebagai aktivitas kecintaan mereka terhadap sains dan
penyebaran ilmu pengetahuan. Maka mulailah zaman keemasan Yahudi di Spanyol;
penyair, dokter, dan sarjana memadukan pengetahuan sekuler dan agama dalam
metode yang belum pernah dicapai sebelumnya. Kaum Yahudi itu bahkan menduduki
jabatan tertinggi di dunia muslim, termasuk perdana menteri beberapa khalifah
di wilayah Islam bagian Timur dan Barat.
Karen Armstrong juga
menggambarkan harmonisnya hubungan antara muslim dengan Yahudi di Spanyol dan
Palestina. Menurut Armstrong, di bawah Islam, kaum Yahudi menikmati zaman
keemasan di al-Andalus. Musnahnya Yahudi Spanyol telah menimbulkan penyesalan
seluruh dunia dan dipandang sebagai bencana terbesar yang menimpa Israel sejak
kehancuran (Solomon) Temple. Abad ke-15 juga telah menyaksikan meningkatnya
persekusi anti-Semitik di Eropa, yang kaum Yahudi dideportasi dari berbagai
kota. Sebagaimana Karen Armstrong, Avigdor Levy, penulis Yahudi dari Brandeis
University, mencatat tentang kisah tragis pengusiran Yahudi dari Spanyol tahun
1492.
Itulah kebaikan dan perlindungan
umat Islam terhadap Yahudi. Tapi, setelah melihat kekuatan Islam melemah, kaum
Zionis kemudian justru berpaling ke Barat. Mereka justru tega merampas negeri
Palestina untuk berdirinya Negara Yahudi. Anehnya, klaim-klaim teologis dan
historis mereka kemudian didukung oleh Inggris dan AS. Peristiwa holocaust yang sebenarnya bukan
tindakan kaum Palestina justru dijadikan legitimasi untuk membunuh dan mengusir
penduduk Palestina dan menggantinya dengan penduduk Yahudi. Karena itu, tidaklah berlebihan jika dunia
menilai, Zionisme sebagai satu bentuk rasisme. Resolusi Majlis Umum PBB No
3379, tahun 1975 menyatakan, bahwa
"Zionisme adalah sebentuk rasisme dan diskriminasi rasial."
Roeslan Abdulgani (Menlu RI
periode 24 Maret 1956--28 Januari 1957) menulis bahwa salah satu jiwa pokok
dari Konferensi Asia-Afrika Bandung, tahun 1955, adalah jiwa anti-Zionisme.
Dalam konferensi tersebut Zionisme Israel oleh banyak delegasi dikatakan
sebagai, "the last chapter in the book of old colonialism, and the one of
the blackest and darkest chapter in human history ‘bab terakhir dari buku kolonialisme kuno,
dan satu di antara bab yang paling hitam
dan paling gelap dalam sejarah manusia.’”
Zionisme Israel, menurut Roeslan
Abdulgani, pada hakikatnya adalah bentuk dan manifestasi dari nafsu untuk
merampas tanah air bangsa lain, dengan cara-cara teroris dan kejam. Negara
Israel yang didirikan pada tahun 1948, tidak hanya merampas tanah air rakyat
Palestina yang tak berdosa, tetapi juga mengusir penduduk aslinya dengan teror
dan kekerasan. Selanjutnya Roeslan menulis:
"Zionisme boleh dikatakan sebagai
kolonialisme yang paling jahat dalam zaman modern sekarang ini. Ia berbau
rasialisme. Ia menyalahi agama Yahudi. Ia didukung oleh kekuatan-kekuatan
internasional yang berjiwa reaksioner, baik dari kalangan Yahudi di Eropa Barat
maupun di Amerika." (Roeslan Abdulgani, Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1987),
Jadi, kekejaman dan kebiadaban
Zionis Yahudi memang sudah masyhur dan dimaklumi oleh dunia internasional.
Mayoritas negara-negara di dunia mengutuk tindakan Israel. Tapi, AS tetap
mendukung kebiadaban Israel. Di sinilah kita melihat praktik nyata kebohongan
Demokrasi yang digembar-gemborkan AS dan sekutu-sekutunya. Dalam struktur PBB
sendiri dilestarikan sistem yang sangat otoriter dan sangat tidak demokratis.
Kekuasaan PBB untuk melakukan aksi militer diberikan kepada Dewan Kemanan; sedangkan
Dewan Keamanan sendiri sudah dikuasai oleh lima anggota tetap. Jika satu saja
anggota tetap itu tidak setuju dengan satu resolusi, maka resolusi itu batal.
Akhirnya, yang berkuasa bukanlah suara mayoritas, tetapi AS dan
sekutu-sekutunya. Inilah satu bentuk kebohongan demokrasi yang sangat
telanjang. Anehnya, begitu banyak pakar saat ini yang masih rajin menyanyikan
lagu demokrasi dan membanggakan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di
dunia Islam. Satu kebanggaan yang berlebihan.
Tapi, kita memang tidak akan
menyelesaikan masalah dengan mengumpat dan mencaci Israel dan para
pendukungnya. Kita sendiri yang harus berubah. Sebab, kita kalah bukan karena
pihak luar. Kita kalah karena kita sendiri. Karena kondisi kita memang layak
untuk dikalahkan. Untuk mencari jawaban bagaimana supaya kita bisa menang, maka
kata Yusuf Qaradhawi, kita memang harus kembali kepada Islam. Tahun 2003 lalu, saat pembukaan KTT
Organisasi Islam di Kuala Lumpur (16/10/2003), Perdana Menteri Malaysia
Mahathir Mohammad kala itu juga sudah mengingatkan bahaya kekuasaan Yahudi di
dunia. Mahathir mengajak umat Islam untuk melihat sejarah, bagaimana bangsa
kecil yang ditindas dimana-mana selama ribuan tahun itu kini bisa menguasai
dunia.
Dalam pidatonya tersebut,
Mahathir Mohammad sebenarnya lebih menekankan, agar umat Islam belajar dari
sejarah Yahudi. Bagaimana bangsa kecil yang mengalami penindasan selama ribuan
tahun ini, berhasil survive (selamat) dan bahkan kemudian menjadi salah satu
kekuatan dunia (world power). Ia menekankan, bahwa Yahudi selamat, lebih karena
menggunakan “otak”, dan bukan hanya kekuatan fisik. “Muslims were up against
people who think; people who survived 2000 years of pogroms not by hitting
back, but by thinking.”
Yahudi, menurut Mahathir, mampu
keluar dari keterpurukannya karena mereka menggunakan akalnya. Tapi, kita
paham, bahwa akal saja tidaklah cukup. Yang penting juga adalah aqidah dan
akhlak. Islam akan mampu meraih kemenangan jika mampu memadukan dua unsure yang
tepat dalam perjuangan, yaitu kecerdasan dan keikhlasan. Betapapun hebatnya
akal yang kita punya, betapa pun jitunya strategi yang kita terapkan, jika
tidak dilakukan dengan keikhlasan, maka kemenangan pun tidak akan kunjung tiba.
Keikhlasan dalam berjuang inilah yang memungkinkan kita mampu membuang
jauh-jauh semangat ashabiyah dan golonganisme di tengah kita.
Mudah-mudahan aktivitas kita
dalam berjuang membantu saudara-saudara kita di Palestina kita jalankan karena
mencari keridhaan Allah; bukan untuk mencari pujian masyarakat bahwa organisasi
kita termasuk yang paling aktif dalam perjuangan ini. Niat ikhlas itulah yang
dinilai oleh Allah. [Solo, 2 Januari 2009/www.hidayatullah.com]
Catatan akhir pekan [CAP]
adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan
www.hidayatullah.com
No comments:
Post a Comment