Monday, 29 December 2008 11:33
|
Oleh: Adian
Husaini
Dalam rangka
memperingati hari lahirnya yang ke-50, pada awal Desember 2008, Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS) menyelenggarakan seminar tentang kemandirian
bangsa. Oleh panitia seminar, dirumuskanlah tiga aspek kemandirian bangsa,
yakni: (1) kemampuannya dalam menetapkan ideologi kebangsaan secara lugas dan
tegas. Lugas sehingga bisa dipahami bangsa-bangsa lain bahwa kita memiliki
dan menerapkan pandangan atau falsafah hidup kita sendiri. Tegas dalam arti
tidak terpengaruh berbagai tantangan dan pendiktean ideologi bangsa lain yang
tidak sejalan dengan milik kita, (2) kebolehannya dalam merumuskan,
memutuskan dan menerapkan kebijakan-kebijakan negara tanpa campur tangan
pihak-pihak lain secara berlebihan, (3) kemampuannya dalam menjaga dan
mempraktikkan kedaulatannya atas wilayah, penduduk, dan sumberdaya yang ada
di dalamnya.
Diskusi tentang ”bangsa
mandiri” sudah berlangsung puluhan tahun, sejak Indonesia belum
merdeka, dan hingga kini belum pernah tuntas. Indonesia memang sangat
majemuk. Untuk menentukan ideologi khas Indonesia, bukanlah hal yang mudah.
Ideologi negara RI pernah diperdebatkan secara serius dalam sidang-sidang
BPUPKI dan sidang-sidang Konstituante. Soal Piagam Jakarta yang memuat
naskah Dasar Negara (Pancasila) hingga kini masih terus didiskusikan. Kisah
dibalik penghapusan tujuh kata (… dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluknya) masih tetap misterius dan masih menarik untuk diteliti
lebih jauh.
Beberapa buku seputar
masalah ini diterbitkan, melengkapi buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI
(terbitan Sekretariat Negara RI, 1995). Lihat, misalnya, buku
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus
Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP,
1997). Juga, O.E. Engelen dkk., Lahirnya Satu Bangsa dan Negara, (Jakarta: UI
Press, 1997), dan RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945,
(Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2004).
Kini, di era
keterbukaan dan kebebasan informasi, aspirasi tentang ideologi bangsa semakin
beragam dan terbuka, mulai gagasan negara sekular sampai negara khilafah.
Biarlah wacana tentang ini terus bergulir. Ideologi apa yang akan dipilih
oleh bangsa Indonesia ke depan, akan ditentukan oleh resultante pergumulan
tiga aspirasi utama di Indonesia: Islam, Barat, dan ” Jawa”.
Kita tidak akan
membahas masalah itu lebih lanjut. Pada catatan kali ini, kita ingin
mengangkat satu unsur pokok dalam upaya membangun bangsa yang mandiri, yaitu
bagaimana mewujudkan manusia-manusia Indonesia yang berjiwa mendiri, manusia
merdeka. Sebab, semua akan sepakat, bahwa kemandirian bangsa Indonesia akan
ditentukan oleh manusia Indonesia itu sendiri. Manusialah yang
menentukan, apakah satu bangsa itu mandiri atau tidak. Manusia itu adalah
manusia yang merdeka, bukan manusia bermental budak yang tunduk kepada
kekuatan di luar dirinya, tanpa kemampuan untuk menolaknya.
Meskipun sudah merdeka selama puluhan tahun,
ternyata mencari sosok manusia Indonesia yang merdeka memang tidak mudah.
Sebuah deskripsi yang sangat sinis tentang ciri-ciri umum manusia Indonesia
pernah dilontarkan oleh budayawan Mochtar Lubis, dalam ceramahnya di Taman
Ismail Marzuki, 6 April 1977.
Inilah ciri-ciri umum manusia Indonesia menurut
Mochtar Lubis: munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih
percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros, suka jalan pintas, dan
sebagainya. Lebih jauh, simaklah uraian Mochtar Lubis berikut ini:
1.
“Salah satu ciri manusia Indonesia
yang cukup menonjol ialah HIPOKRITIS alias MUNAFIK. Berpura-pura, lain di
muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak
lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk
menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya atau pun
yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang
membawa bencana bagi dirinya.”
2.
“Ciri kedua utama manusia Indonesia
masa kini adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya,
putusannya, kelakukannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan saya” adalah
kalimat yang cukup populer pula di mulut manusia Indonesia.
3.
“Ciri ketiga utama manusia Indonesia
adalah jiwa feodalnya. Meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan
Indonesia ialah juga untuk membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme,
tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan
masyarakat manusia Indonesia.”
4.
“Ciri keempat utama manusia
Indonesia adalah manusia Indonesia masih percaya takhayul. Dulu, dan sekarang
juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung,
pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, pedang,
itu punya kekuatan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur hubungan khusus
dengan ini semua…”
5.
“Kemudian, kita membuat mantera dan
semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura, Ampera, orde baru, the rule of law,
pemberantasan korupsi, kemakmuran yang merata dan adil, insan pembangunan.
Manusia Indonesia sangat mudah cenderung percaya pada menara dan semboyan dan
lambang yang dibuatnya sendiri.”
6.
“Ciri keenam manusia Indonesia punya
watak yang lemah. Karakter kurang kuat. Manusia Indonesia kurang
kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika
dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya. Makanya
kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan
manusia Indonesia.”
“Dia cenderung boros. Dia senang berpakaian
bagus, memakai perhiasan, berpesta-pesta. Hari ini ciri manusia Indonesia ini
menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai
barang buatan luar negeri, main golf, singkatnya segala apa yang serba
mahal.”
“Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali
kalau terpaksa… atau dengan mudah mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan
atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari kedudukan
berpangkat cepat bisa menjadi kaya. Jadi priyayi, jadi pegawai negeri adalah
idaman utama, karena pangkat demikian merupakan lambang status yang
tertinggi.” (Uraian lebih jauh, lihat, Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2001).
Tentu paparan Mochtar Lubis itu tidak seluruhnya
benar, dan juga tidak seluruhnya salah. Tapi, bagaimana pun, stereotip yang
diberikan oleh budayawan serba bisa ini bisa bermanfaat sebagai bahan
refleksi
dan penilaian secara kritis. Jika faktanya, ciri-ciri umum manusia Indonesia
itu memang seperti itu, maka sangat sulit diharapkan untuk membangun suatu
bangsa yang mandiri. Jika manusia-manusia semacam itu yang bercokol di suatu
institusi, maka sulit berharap institusi itu akan mandiri. Hanya manusia
Indonesia yang merdeka dan berjiwa mandiri, yang akan dapat membangun bangsa
yang mandiri.
Manusia-manusia egois
yang lemah jiwa, munafik, cari aman sendiri, dan suka mencari jalan
pintas tentu sangat sulit diharapkan untuk membangun suatu bangsa yang
sehat. Masalahnya, masih adakan manusia Indonesia yang ikhlas berjuang
untuk membangun bangsa tanpa meminta imbalan. Pada 17 Agustus 1951,
hanya 6 tahun setelah kemerdekaan, Mohammad Natsir – Pahlawan Nasional dan
Pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia -- menulis sebuah artikel
berjudul “Jangan Berhenti Tangan
Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” Melalui artikelnya
ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia pasca
kemerdekaan dengan pra-kemerdekaan.
“Dahulu,
mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan
anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun
telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan
cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang
menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan
kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh
masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang
dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal…
Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela
sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan
memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan
dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat
dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya
sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya. Lampu cita-citanya
sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang
akan dibuat!”
Peringatan Moh. Natsir
hampir 60 tahun lalu itu perlu dicermati oleh para elite bangsa. Bahwa, baru
beberapa tahun saja kemerdekaan berlalu, banyak orang Indonesia sudah
kehilangan orientasi, egois, serba pamrih, dan tidak tahu lagi apa yang harus
diperbuat. Mereka berpikir, bahwa perjuangan sudah selesai, dan seolah-olah
tujuan bangsa sudah tercapai. Sudah merdeka. Cukup!. Maka, tiap tahun rakyat
dihibur dengan pesta-pesta 17 Agustusan. Menurut mereka, sekarang bukan saat
untuk berjuang, tetapi saatnya untuk menikmati hasil perjuangan.
Sikap cepat berpuas
diri dan ingin cepat-cepat menikmati hasil perjuangan itulah yang dikritik
oleh Natsir. Kata Natsir, jika bangsa ini tidak mau tenggelam dihantam
gelombang tantangan zaman, maka bangsa ini tidak boleh berhenti
”mendayung”. Untuk itu, Natsir berseru:
”Saudara
baru berada di tengah arus, tetapi sudah berasa sampai di tepi pantai. Dan
lantaran itu tangan saudara berhenti berkejauh, arus yang deras akan membawa
saudara hanyut kembali, walaupun saudara menggerutu dan mencari kesalahan di
luar saudara. Arus akan membawa saudara hanyut, kepada suatu tempat yang
tidak saudara ingini... Untuk ini perlu saudara berdayung. Untuk ini saudara
harus berani mencucurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani menghadapi
lapangan perjuangan yang terbentang di hadapan saudara, yang masih
terbengkelai... Perjuangan ini hanya dapat dilakukan dengan enthousiasme yang
berkobar-kobar dan dengan keberanian meniadakan diri serta kemampuan untuk
merintiskan jalan dengan cara yang berencana.” (M. Natsir, Capita Selecta 2, (Jakarta: PT Abadi,
2008, cet. Ke-2)
Sebagai Muslim tentu
kita yakin bahwa Indonesia akan menjadi negara besar dan disegani di arena
internasional jika bangsa ini mau berpegang teguh kepada ajaran Islam. Sebab,
bangsa ini adalah bangsa Muslim. Mayoritas penduduknya Muslim. Kita yakin,
karakter ajaran Islam dan kekayaan sejarah Islam, akan mampu mengantarkan
bangsa ini ke arah kebangkitan yang sebenarnya. Kita yakin itu. Karena kita
Muslim.
Abul Hasan Ali
an-Nadwi, ulama besar India, dalam bukunya Maadza
Khasiral ’Alam bi-Inhithaathil Muslimin (Apa Kerugian Dunia Islam
akibat Kemunduran kaum Muslim) menyebutkan, bahwa umat Islam adalah pemegang
amanah risalah para Nabi dan Rasul Allah. Jika mereka lemah dan mundur, maka
misi kenabian akan menjadi lemah. Umat Islam adalah bagaikan obat yang tugasnya
menyembuhkan tubuh kemanusiaan. Banyak pemikiran Ali an-Nadwi yang menarik
untuk dikaji. Natsir sendiri menganjurkan kaum Muslim Indonesia agar membaca
buku-bukunya.
Tetapi, sejak zaman
pra-kemerdekaan, para tokoh Islam sudah menawarkan konsep Islam sebagai dasar
bagi negara RI. Dan kita tahu, usul itu ditolak oleh berbagai pihak, baik
kaum non-Muslim maupun kaum sekular. Mereka lebih percaya kepada
konsep-konsep lain untuk membangun bangsa ini. Tentu kita menghormati
aspirasi mereka, meskipun kita tidak akan pernah berhenti menawarkan solusi
Islam bagi kemanusiaan.
Sebagai pengemban
amanah risalah dan pelanjut perjuangan para pendahulu kita, tugas kita
sekarang bukan hanya membuktikan, bahwa secara konseptual Islam memang hebat.
Tetapi, yang lebih penting adalah membuktikan konsep Islam itu dalam tataran
realitas kehidupan kaum Muslim sendiri. Manusia-manusia Muslim harus menjadi
manusia-manusia terbaik dan teladan di berbagai bidang kehidupan. Masyarakat
Indonesia tidak akan mudah percaya kepada jalan Islam jika kaum Muslim
sendiri – terutama para elitenya – gagal membuktikan ucapan-ucapan mereka
sendiri.
Manusia-manusia Muslim
haruslah menjadi sosok-sosok manusia merdeka. Mereka harus memiliki iman yang
kokoh, rakus terhadap ilmu, kuat dan ikhlas dalam ibadah, berakhlak mulia,
tidak diperbudak oleh hawa nafsu dunia, tigak gila harta, tidak gila
kedudukan, dan gandrung popularitas. Kita tidak perlu menuntut orang lain
untuk menjadi seperti itu. Tapi, diri kita dulu yang perlu bekerja dan
berusaha sekuat tenaga agar menjadi ”manusia merdeka”.
Kita bisa bertanya pada
diri kita masing-masing, untuk apakah kita berniat menjadi Presiden, menjadi
guru, menjadi menteri, menjadi anggota DPR, menjadi wartawan, menjadi
mahasiswa, menjadi ketua organisasi, dan sebagainya? Apakah semua
posisi itu ingin kita raih dengan tujuan untuk beribadah dan berjuang di
jalan Allah, atau hanya untuk memenuhi syahwat duniawi? Apakah kita
masih mau berlomba-lomba menjadi caleg, jika gaji anggota DPR disamakan
dengan gaji guru SD/TK?
Jika kehidupan sudah
dikuasai nafsu syahwat duniawi, maka kaum Muslim perlu memikirkan serius
langkah perjuangan mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah
saw: ‘Hendaklah kalian
tetap melaksanakan amar makruf dan nahi munkar, hingga apabila engkau melihat
egoisme yang ditaati, hawa nafsu yang dijadikan panutan, dunia yang
diutamakan, dan tiap orang pandai bangga dengan pendapatnya sendiri, dan
engkau mendapati persoalan terlalu sulit diatasi, maka saat itu
hendaklah engkau sibuk dengan diri sendiri dan tinggalkan (kecenderungan)
kebanyakan orang. Sesungguhnya di hadapan kalian ada masa-masa dimana
bertahan dengan kesabaran ibarat sedang menggenggam bara api. Orang yang
berbuat pada masa-masa itu mendapat pahala yang setara dengan pahala lima puluh
orang di antara kalian’.” (HR Baihaqi dan Ibn Majah).
Jika kondisi sudah
rusak dan terlalu sulit diperbaiki, maka pelu dipikirkan tindakan al-insihab
wal ’audah (proses menarik diri untuk kembali). Tindakan ini tidak lari dari
persoalan masyarakat, melainkan justru ingin melakukan perubahan mendasar
terhadap masyarakatnya. Melalui gerakan ini, dilepaskanlah kecenderungan
publik (yang dikuasai syahwat dunia) dan dilakukanlah pembenahan
internal untuk bersiap-siap melakukan gerakan lain yang strategis di masa
depan. Dalam proses ini, dilakukan evalusasi serius dan pembenahan
terhadap pemikiran, kondisi jiwa dan perilakunya. Sebab, perjuangan
membutuhkan pemikiran yang benar (sahih), amal ibadah yang sungguh-sungguh,
dan keikhlasan yang tinggi.
Perjuangan harus
dilakukan oleh manusia-manusia merdeka, yang tidak dijajah oleh hawa nafsu,
tidak dirasuki sifat hubbud-dunya, riya’, dengki, dan berbagai penyakit
lainnya. Wallahu A’lam. [Depok, 26 Desember 2008/www.hidayatullah.com]
Catatan Akhir Pekan
(CAP) Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
|
Thursday 7 August 2014
Membangun Manusia Merdeka
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment