Pages

Thursday, 3 July 2014

Umat Islam Tidak Toleran?

Tulisan dibawah ini di sadur dari email di Muslim KL - tanggal 25 Desember 2010 oleh pak Nurhono.. terimaksih atas postingan nya pak. 

Assalamu'alaikum wr wb,

Hari khamis, 23 Des 2010 yang lalu, sebagaimana biasanya setiap 1 bulan sekali, INSISTS diberi ruang pada Koran Republika menulis pada edisi Islamia, Jurnal Pemikiran Islam. Kali ini kajiannya adalah tentang "Studi Kristology". Untuk membantu memudahkan sahabat2 kaum muslimin dan muslimat IATMI-KL, mendalami masalah ini khususnya di bulan Desember ini ketika berhadapan dengan issue perayaan Natal, maka dari Jakarta kami lampirkan beberapa file dari artikel2 edisi tersebut :

1. Umat islam Tidak Toleran ?
2. Natal Ibadah kaum Kristen.
3. Studi Kristology.
4. Bisakah suatu fatwa dicabut, sikap Buya Hamka terhadap fatwa MUI : Natal Bersama .
5. Arsyad Thalib Lubis_kristolog Batak kharismatik.
6. KH.Abdullah syafie_Ulama Pejuang.
7. Kecerdasan _Oleh2 Dr,Hamid Fahmy Zarkasyi_Insists Duta RI.

Selamat membaca....semoga bermanfaat, semoga semakin mencerahkan kehidupan beragama umat dan pemikiran Islam , Amin.

Wassalamu' alaikum wr wb,
A.Nurhono

Umat Islam Tidak Toleran?
Friday, 24 December 2010
Written by Adian Husaini
Pada 1 Juli 2009, Dr. Marwa El-Sherbini, seorang Muslimah yang sedang hamil tiga bulan dibunuh oleh seorang non-Muslim di Pengadilan Dresden Jerman. Dr. Marwa dibunuh dengan sangat biadab. Ia dihujani tusukan pisau sebanyak 18 kali, dan meninggal di ruang sidang.
Dr. Marwa hadir di sidang pengadilan, mengadukan seorang pemuda Jerman bernama Alex W yang menjulukinya sebagai “teroris” karena ia mengenakan jilbab. Pada suatu kesempatan, Alex juga pernah berusaha melepas jilbab Marwa, Muslimah asal Mesir. Di persidangan itulah, Alex justru membunuh Dr. Marwa dengan biadab. Suami Marwa yang berusaha membela istrinya justru terkena tembakan petugas.

http://www.bamah.net/2012/01/marwa-el-sherbini-mati-syahid-karena-membela-haknya/
Mungkin karena korbannya Muslim, dan pelakunya warga asli non-Muslim, peristiwa besar itu tidak menjadi isu nasional, apalagi internasional. Tampaknya, kasus itu bukan komoditas berita yang menarik dan laku dijual!
Bandingkan dengan kasus terlukanya seorang pendeta Kristen HKBP di Ciketing Bekasi, akibat bentrokan dengan massa Muslim. Meskipun terjadi di pelosok kampung, dunia ribut luar biasa. Menlu AS Hilary Clinton sampai ikut berkomentar. Situs berita Kristen www.reformata.com, pada 20 September 2010, menurunkan berita: “Menlu AS Prihatin soal HKBP Ciketing”.
Menyusul kasus Ciketing tersebut, International Crisis Group (ICG), dalam situsnya, (www.crisisgroup.org) juga membuat gambaran buruk terhadap kondisi toleransi beragama di Indonesia: “Religious tolerance in Indonesia has come under increasing strain in recent years, particularly where hardline Islamists and Christian evangelicals compete for the same ground.”
Banyak orang Muslim terbengong-bengong dengan fenomena ketidakdilan informasi yang menimpa mereka. Saat menemani Presiden Barack Obama melihat-lihat Masjid Istiqlal, Prof. KH Ali Musthafa Ya’qub menyampaikan titipan kaum Muslim Washington yang sudah tujuh tahun menunggu izin pendirian Masjid. Padahal, tanah sudah tersedia. Izin sudah diajukan dan belum kunjung keluar.
Masalahnya, yang jadi korban Muslim! Mungkin, oleh berbagai pihak, kasus yang menimpa kaum Muslim dianggap bukan komoditas berita yang menarik dan layak jual.
Kasus-kasus penyerangan tempat ibadah dan orang-orang Muslim di dunia Barat sangat melimpah datanya. Kebencian terhadap Muslim meningkat setelah peristiwa 11 September 2001. Berbagai laporan menunjukkan terjadinya vandalisme di banyak masjid dan kuburan Muslim hampir di seluruh Eropa. Pelecehan terhadap Islam seperti dilakukan oleh politisi Belanda Geert Wilders, juga tidak menjadi isu internasional tentang pelecehan Islam.
Pada 12 Februari 2010, Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ) menyebarluaskan data perusakan gereja di Indonesia. Kata mereka, hingga awal tahun 2010 telah ada hampir sekitar 1200 buah gereja yang dirusak dan ditutup.  Berita ini tersebar ke seluruh dunia.
Fantastis! Ada 1200 gereja dirusak di Indonesia, sebuah negeri Muslim terbesar di dunia! Wajar jika dari ekspose angka itu akan muncul persepsi negatif terhadap Indonesia dan kaum Muslim. Setidaknya, bisa muncul opini, betapa biadab dan tidak tolerannya orang Muslim di Indonesia! Jika kasus satu gereja di Ciketing Bekasi saja sampai ke telinga Hillary Clinton, bagaimana dengan kasus 1.200 perusakan gereja!
Sayang, tidak ada analisis komprehensif dan jujur mengapa dan jenis kerusakan apa yang dialami gereja-gereja itu. Data Badan Litbang Kementerian Agama menunjukkan, pertumbuhan gereja Protestan di Indonesia pada periode 1977-2004, menunjukkkan angka yang fantastis, yakni  131,38 persen.  Gereja Katolik lebih fantastis, 152 persen. Sedangkan pertumbuhan rumah ibadah umat Islam meningkat 64,22 persen pada periode yang sama.
Angka pertumbuhan gereja di Indonesia yang fantastis itu mestinya juga diekspose oleh lembaga-lembaga Kristen ke dunia internasional, agar laporan mereka lebih berimbang dan fair terhadap kondisi keberagamaan di Indonesia! Itu jika ada keinginan untuk membangun Indonesia sebagai rumah bersama, agar lebih adil, makmur, dan sejahtera.
Dalam soal toleransi beragama, antara opini dan fakta memang bisa jauh berbeda. Umat Islam sudah kenyang dengan rekayasa semacam itu. Dunia Barat bepuluh tahun tertipu oleh opini yang diciptakan kaum Zionis, bahwa negeri Palestina adalah tanah kosong, tanpa penduduk. Bertahun-tahun banyak orang Barat percaya, bahwa Israel adalah “David” sedangkan negara-negara Arab adalah “Goliath”. Kini, banyak yang sudah terbuka matanya, apa yang sebenarnya terjadi.
Dalam beberapa kali mengikuti perjalanan jurnalistik ke luar negeri, antara tahun 1996-1997, saya melihat bagaimana masalah Islamisasi di Timtim itu kadangkala diangkat oleh wartawan Barat dalam acara jumpa pers dengan pejabat-pejabat pemerintah RI. Mereka termakan oleh kampanye Uskup Belo selama bertahun-tahun bahwa telah terjadi Islamisasi di Timtim yang antara lain difasilitasi oleh ABRI.
Padahal, fakta bicara lain. Yang terjadi di masa integrasi Timtim dengan Indonesia adalah Katolikisasi! Bukan Islamisasi! Hasil penelitian Prof.  Bilver Singh dari Singapore National University, menunjukkan, pada 1972, orang Katolik Timtim hanya berjumlah 187.540 dari jumlah penduduk 674.550 jiwa (27,8 persen). Tahun 1994, jumlah orang Katolik menjadi 722.789 dari 783.086 jumlah penduduk (92,3 persen). Tahun 1994, umat Islam di Timtim hanya 3,1 persen. Jadi dalam tempo 22 tahun di bawah Indonesia, jumlah orang Katolik Timtim meningkat 356,3%. Padahal, Portugis saja, selama 450 tahun menjajah Timtim hanya mampu mengkatolikkan 27,8% orang Timtim.
Melihat pertambahan penduduk Katolik yang sangat fantastis itu, Thomas Michel, Sekretaris Eksekutif Federasi Konferensi para Uskup Asia yang berpusat di Bangkok, menyatakan, “Gereja Katolik di Timtim berkembang lebih cepat dibanding wilayah lain mana pun di dunia.” (Lihat, Bilveer Singh, Timor Timur, Indonesia dan Dunia, Mitos dan Kenyataan (Jakarta: IPS, 1998).
Itu fakta. Tapi, opini di dunia internasional berbeda. Sejumlah kasus Islamisasi di Timtim diangkat dan dibesar-besarkan sehingga menenggelamkan gambar besar kondisi keagamaan di Timtim saat itu.
Ini kepiawaian mencipta opini! Perlu diacungi jempol. Tokoh agama menjalankan fungsinya sebagai juru kampanye, bahwa umatnya tertindas, terancam, dan perlu pertolongan dunia internasional. Dan, kampanye itu menuai hasil yang mengagumkan!  Dunia diminta percaya bahwa kaum Kristen terancam dan tertindas di Indonesia; bahwa tidak ada toleransi, tidak ada kebebasan beragama di negeri Muslim ini. Berbagai LSM di Indonesia sibuk mengumumkan hasil penelitian bahwa kondisi kebebasan beragama di Indonesia sangat buruk.
Cara eksploitasi kasus di luar batas proporsinya ini sangat merugikan citra bangsa. Padahal, lihatlah fakta besarnya! Muslim Indonesia sudah terbiasa dengan keberagaman dalam kehidupan beragama. Umat Muslim terbiasa menerima pejabat-pejebat non-Muslim duduk di posisi-posisi penting kenegaraan. Umat Muslim sangat biasa melihat tayangan-tayangan acara agama lain di stasiun televisi nasional. Hari libur keagamaan pun dibagi secara proporsional.
Tengoklah, berapa gelintir orang Muslim yang diberi kesempatan untuk menjadi pejabat tinggi di negara-negara Barat, sampai saat ini. Tengoklah, apakah kaum Muslim di sana bebas mengumandangkan azan, sebagaimana kaum Kristen di Indonesia bebas membunyikan lonceng gereja. Apa ada hari libur untuk kaum Muslim saat berhari raya, sebagaimana kaum Kristen menikmati libur Natal dan Paskah?
Tengoklah pusat-pusat pembelanjaan dan televisi-televisi Indonesia saat perayaan Natal! Apakah kaum Kristen dihalang-halangi untuk merayakan Natal dan hari besar lainnya? Justru yang terjadi sebaliknya. Di Indonesia, sebuah negeri Muslim, suasana Natal begitu bebas merambah seluruh aspek media massa.
Dalam kondisi maraknya ritual Kristen dan Kristenisasi di Indonesia, sungguh suatu “kecerdikan yang luar biasa” dalam bidang teknik pencitraan, bahwa Indonesia dicitrakan sebagai sebuah negeri yang tidak memberikan toleransi beragama kepada minoritas Kristen. Seolah-olah mereka adalah umat yang tertindas dan teraniaya.  Adanya kasus-kasus tertentu diangkat dan dieksploitasi begitu dahsyat sehingga Indonesia dicitrakan sebagai negeri yang tidak ada kebebasan beragama.
Tentu, adilnya, jika ingin menikmati kecantikan wajah seorang gadis, lihatlah seluruh wajahnya! Jika hanya satu dua jerawat yang diteropong dan dipelototi habis-habisan, maka wajah cantik itu akan hilang dari pandangan mata!
Kaum Muslim pasti sangat mencintai negeri ini. Muslim pasti mencintai toleransi, kerukunan, dan perdamaian. Hanya saja, tokoh Islam Indonesia M. Natsir, pernah memohon: “…kalaulah ada suatu harta yang kami cintai dari segala-galanya itu ialah agama dan keimanan kami. Itulah yang hendak kami wariskan kepada anak cucu dan keturunan kami. Jangan tuan-tuan coba pula memotong tali warisan ini!”
Kaum Muslim perlu terus mengambil hikmah dan pelajaran dari berbagai kasus yang menimpa mereka. Juga, kaum Muslim,  terutama para aktivis dakwah, perlu terus meningkatkan kualitas dan kemampuan dakwahnya, agar mereka tidak mudah dikelabui dan diperdayakan. Toleransi umat Islam dinegeri ini tidak dihargai, justru umat Islam dicitrakan sebagai umat yang tidak toleran, padahal secara umum, mereka sudah berbuat begitu baik kepada kalangan non-Muslim dalam berbagai bidang kehidupan.  (17 Desember 2010***)

Friday, 27 June 2014

Idul Fitri Bersama di Republik Mimpi



Menyadur tulisan dari pak Ustadz DR. Muntaha Zaim

On Saturday, October 6, 2007 9:47 AM, Muntaha Zaim <muntaha_26@yahoo.com> wrote:


‘Idul Fitri Bersama di Republik Mimpi"
 
            Di hampir semua negara-negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam masyarakatnya dapat menikmati kebahagiaan berhari raya bersama, bersatu padu dalam kebahagiaan; namun di Indonesia masyarakat untuk saat ini hanya dapat bermimpi untuk dapat merasakan indahnya kebersamaan dalam kebahagiaan.
 
Apa akar permasalahannya
            Hari raya 'Idul Fitri bukan seperti shalat, wudhu dan ibadah sejenisnya yang dapat dilakukan dengan leluasa oleh individu, 'Idul Fitri adalah ibadah sosial, ibadah yang melibatkan semua elemen umat Islam, tak pandang bulu dari ormas dan jama’ah manapun mereka; Muhammadiyah, NU, Perti, Persis, Masyumi, al-Irsyad, Syi’ah, Salafi, Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh; bahkan dari, Islam Jama’ah, Islam Liberal hingga Islam abangan, juga masih banyak lagi parpol-parpol yang berbasis Islam, semuanya ada di Indonesia dan semuanya merasa perlu dan merasa memiliki ‘Idul Fitri; yang mana berjuta-juta umat Islam Indonesia banyak yang beraviliasi di dalam ormas-ormas tersebut, atau “dipaksa” oleh opini masyarakat untuk dimasukkan dalam organisasi dan jama’ah-jama’ah tersebut; dan perlu dicatat bahwa semua berdiri di atas nama Islam dan tentu semua menginginkan untuk menuju surga.
            Nah, pada saat umat Islam Indonesia ingin mengadakan "hajatan akbar" berupa perayaan 'Idul Fitri; ternyata ada di antara pemimpin-pemimpin dan ilmuan-ilmuan/ulama’ dari kelompok-kelompok itu yang merasa paling punya wewenang dan ingin didengar suaranya untuk menentukan hari “H”nya ‘Idul Fitri; tentu dengan metode masing-masing, ada yang memakai hisab, ada pula yang menggunakan metode ru'yat, baik ru’yat lokal maupun yang lebih maju lagi ru’yat global. Yang pasti hilal (bulan sabit) tidak akan terpengaruh sedikitpun dengan segala macam metode observasi tersebut, sebab bulan sabit itu satu dan dia mempersilahkan kepada umat Islam untuk meneliti dan mengobservasi dirinya, segala metodologi itu tidak penting bagi sang hilal. Toh meskipun pada tahun 2001 Muhammadiyah dan Persis yang sama-sama menggunakan teori hisab hasilnya berbeda dalam menentukan 'idul Fitri, dan juga pada tahun 2006 Lajnah Falakiyah NU yang menggunakan ru'yat ternyata saling menyalahkan dan akhirnya "pecah" menjadi dua golongan; PBNU dan PWNU Jatim, seandainya hilal dapat mengungkapkan kesedihannya tentu dia sangat murka melihat dirinya sebagai tanda-tanda kebesaran Allah menjadi penyebab umat Islam Indonesia berselisih dan berpecah belah. Di samping itu pihak-pihak yang menentukan ‘Idul Fitri juga sudah bersikukuh bahwa pendapatnya adalah benar dan harus dipertahankan, kalau perlu sampai nafas terakhir; sebab ini masalah tanggung jawab sebagai pemimpin di hadapan “umatnya” dan di hadapan Allah kelak, ini adalah urusan surga dan neraka!
            Karena besar dan seriusnya masalah ini sehingga mengusik ilmuan dan ulama Indonesia untuk membahas tentang “bulan”, dan bisajadi negara-negara anggota OKI yang paling “maju” dan paling giat dan sibuk mengadakan penelitian dan observasi tentang planet bulan adalah Republik Indonesia, bahkan seminar-seminar dan berbagai macam simposium sudah diadakan oleh ormas-ormas Islam, peserta seminar juga bukan hanya dari sarjana-sarjana astronomi tapi sarjana syari’ah juga terlibat aktif; tapi perlu dicatat bahwa tujuan pertemuan dan penelitian tersebut bukan untuk dapat sampai ke permukaan bulan tersebut, namun hanya sekedar untuk mencari definisi tentang kriteria “wujudul hilal”, “derajat visibilitas ar-ru’yah”, “ijtima’ (konjungsi) qablal ghurub” dan segala macam istilah lainnya yang berkaitan dengan ilmu falak/astronomi, mungkin karena rumitnya ilmu yang satu ini, ilmuan dan ulama Indonesia yang sudah selama bertahun-tahun memeras keringat dalam membahasnya dan berijtihad (menggali hukum dengan sungguh-sungguh sampai ke titik maksimal) namun masalah “definisi” dan “kriteria” hilal belum juga dapat disepakati dan belum ditemukan. Mungkin untukIndonesia masih perlu berpuluh-puluh tahun lagi untuk mengetahui “definisi hilal”!, Kalau untuk masalah seperti ilmuan, cendekiawan dan ulama IslamIndonesia untuk menelitinya memakan waktu bertahun-tahun, lantas kapan akan ada orang Islam Indonesia yang akan mengibarkan sang saka merah putih di planet tersebut?
            Ini semua mengindikasikan bahwa apapun metodologinya, dan sekuat apapun dalil syar’i yang dijadikan hujjah, metodologi apapun yang disepakati baik ru'yat saja maupun hisab, jika semua pihak belum sepakat tentang “kriteria” hilal, maka di negeri yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia ini perbedaan dalam menentukan 'Idul Fitri peluang berbeda masih sangat terbuka lebar dan menganga.
 
Mengapa melupakan tujuan 'Idul Fitri
            Tujuan 'Idul Fitri adalah untuk merayakan kebahagiaan, kebersamaan, dan saling menyatakan kebesaran rahmat dan nikmat Allah kepada antar sesama umat Islam khususnya dan juga menunjukkan kepada alam semesta bahwa umat Islam itu meskipun sekarang ini tercabik-cabik, tapi masih ada harapan dan motivasi untuk meraih kegemilangan di masa mendatang.
            'Idul Fitri adalah kembali kepada fitrah; di antara fitrah umat Islam, meskipun dibungkus dengan berbagai macam ormas, sebenarnya fitrahnya masih tetap ingin bersatu padu dalam 'Idul Fitri; melupakan semua bungkusnya, bahkan fitrah ingin saling memaafkan dan saling melupakan kesalahan masa lalu dengan saling bersilaturrahim; inilah fitrah masyarakat Indonesia. Fitrah yang harus dicarikan wadah untuk mempersatukannya; dan seharusnya peluang itu ada di depan mata; bersama-sama berhari raya ‘Idul Fitri.
Syahdan di negeri ini; satu rumah, bahkan penulis mengatahui ada sepasang suami istri yang sama-sama taat beragama; ternyata pilihan 'Idul Fitrinya berbeda, dan menjadi gunjingan banyak orang di hari yang seharusnya tidak perlu ada desas-desus tidak sehat tersebut, adakah ini yang diharapkan Islam?, ketika dimalam hari juga mungkin ada yang mendengar satu mesjid menyerukan dengan suara lantang agar masyarakat bangun bersahur, tapi di masjid yang kebetulan tempatnya “berseberangan jalan" ada sahutan dengan mengumandangkan laungan menggema takbir 'Idul Fitri; yang membawa pesan sangat jelas, jangan kalian bersahur, kalian tidak benar, yang benar adalah kami yang sedang bertakbir, dan begitulah sebaliknya. Andaikata baginda Rasulullah SAW masih ada; mungkinkah beliau berbahagia dengan kondisi umatnya seperti saat ini?. Namun begitu semua yang saling berselisih tersebut beranggapan bahwa dialah yang paling sesuai dengan sunnah Nabi SAW.
            Dalam 'Idul Fitri disunnahkah untuk mengucapkan salam dan do'a "Taqqbbalallahu minna wa minkum", sebagai ungkapan kemenangan, kemenagan umat Islam, kemenangan apakah yang akan diraih dari perpecahan umat, ‘Idul Fitri yang seharusnya menjadi momen persatuan untuk menuju kemengan, namun di Indonesia menjadi peletakan batu pertama untuk saling terus berpecah belah. Bila 'Idul Fitri berbeda dan dalam satu lingkungan sosial; dapat dipastikan bahwa ketidaknyamanan akan terjadi; meskipun ada senyum, senyuman keterpaksaan itu hanya sampai di tenggorokan, belum sampai masuk ke hati. Toleransi yang dipaksakan oleh pengambil kebijakan dengan alasan "masyarakat kita sudah dewasa dalam menyikapi perbedaan", "ini masalah khilafiyah, perbedaan dalam agama itu rahmat". Benarkah, perbedaan 'Idul Fitri dalam satu kampong bahkan di dalam satu rumah merupakan rahmat yang dibawa Islam?. Mungkin bibir dapat mengatakan rahmat; namun hati nurani yang masih dalam fitrah akan menolaknya, meskipun sudah berulang kali untuk dihibur dengan berbagai macam alasan dan dalil.
            Mengapa hanya dalil hisab dan ru’yah yang selalu ditonjolkan; dan masyarakat juga sudah yakin bahwa tokoh-tokoh ormas pemegang kebijakan sudah “final dan puas” dengan dalil masing-masing, bukankah Islam itu luas; masih ada dalil-dalil lain, seperti maqashid as-syari’ah, yang jelas berpihak kepada maslahat (kebaikan) dan maslahat dalam ‘Idul Fitri hanya dapat ditemui jika dilakukan secara bersama-sama. Kebersamaan 'Idul Fitri. Itulah yang jelas kita dapatkan dari wejangan tuntunan umat Islam, kanjeng Nabi SAW, "Hari berpuasa adalah hari kamu semua berpuasa hari raya adalah di mana kamu semua berhari raya". Sebagaimana yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi, ad-Daruquthni, dan al-Bayhaqi.
            Ternyata pemegang kebijakan terjebak dengan teknis observasi dan “kriteria” yang sampai saat ini belum ditemukan titik temunya, dan sama sekali kurang memperhatikan dan menitik beratkan titik temu kebersamaan umat Islam, yang tentu saja ini adalah merupakan salah satu tujuan utama disyari’atkannya ‘Idul Fitri.
 
Diperlukan kedewasaan dan hati yang lapang
            Bagi warga Indonesia yang merasakan hidup di luar negeri pada saat 'idul Fitri mungkin merasa sedih karena jauh dari keluarga, famili dan tentu ini adalah momen yang sangat bersejarah dan penuh arti dalam hidup seseorang; bahkan juga di Indonesia sendiri; fenomena mudik menunjukkan antusias masyarakat untuk "bersama" berbahagia bersama keluarga; namun kasihan umat Islam Indonesia, kebersamaan itu akhirnya kandas di tangan qarar, fatwa, tarjih dan istilah-istilah lain yang dipakai oleh tokoh-tokoh ormas Islam; Namun jika melihat kenyataan bahwa di kampung halaman hari raya berbeda-beda sampai selama 3 hari, rasanya rasa kangen dan kerinduan jadi sirna, atau bahkan menjadi phobi dengan realita umat Islam Indonesia, dan bagi yang berada di luar negeri menjadi iri dengan negara Islam lain dan putus asa melihat problematika bangsa Indonesia dengan muslim mayoritasnya.
            Di semua negara Islam, perbedaan ‘idul Fitri itu hampir tidak terjadi atau sangat jarang terjadi; di semua negara Teluk, di semua Negara Timur Tengah, di Afrika Utara, di Asia Tengah, dan di negara-negara ASEAN (tentu saja kecuali Republik Indonesia) semua rakyatnya dapat merasakan kebersamaan dan kebahagiaan 'Idul Fitri, sebab pemimpin-pemimpin dan ilmuan-ilmuan/ulama' di negeri-negeri tersebut jauh lebih melihat bahwa ‘Idul Fitri milik umat Islam seluruhnya, bukan milik kelompok dan golongan. Indonesia dengan berjuta-juta penduduk memang dapat dibanggakan dengan banyaknya ulama’ dan ilmuan-ilmuannya; baik yang ahli dalam bidang ru’yah maupun hisab/astronomi tidak terhitung banyaknya. Tapi hal serupa juga kita dapatkan dengan melimpah ruah di Mesir, di Timur Tengah, di Afrika Utara, di Asia Tengah dan juga di semua Negara ASEAN; negara-negara tersebut juga punya ulama-ulama besarnya yang bahkan mendunia yang negara kita saat ini belum mampu melahirkannya, dan tentu negara-negara tersebut juga punya pakar-pakar falak dan ahli ru’yah yang mungkin lebih senior dari Indonesia, tapi di manakah suara dan pendapat ulama'-ulama' negeri-negeri tersebut ketika menentukan 'Idul Fitri? Nyaris tak terdengar, dan bahkan tidak muncul. Dikarenakan mereka menyadari sepenuhnya bahwa urusan "mengumumkan" jatuhnya hari raya 'Idul Fitri bukan ditangan individu atau kelompok; tapi di tangan ulil amri, para ulama' dan ilmuan tugasnya adalah memberikan masukan yang akurat dan data valid kepada ulil amri tentang observasi hilal; itulah tanggung jawab mereka; dan bila terjadi kesimpangsiuran atau bila adu dalil tidak terelakkan di antara kubu-kubu yang ada, maka surat An-Nisa': 59 difungsikan dan ditaati: "Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasulullah dan kepada ulil amri dari kalian". Kubu-kubu yang berselisih tentunya sudah "puas" dan nyaman dengan dalil-dalil yang dipegang; kalau sudah begitu maka ulil amri harus dimainkan perannya atau memainkan perannya untuk menghindarkan perselisihan; itu semuaa harus dilakukan sebab ritual 'Idul Fitri bukan ritual individu dan kelompok, tapi ritual yang melibatkan umat Islam. Dan dalam kaidah fatwa diterangkan bahwa fatwa harus meilhat i'tibar al-maalaat (melihat efek dan akibat yang akan ditimbulkan), dan perbedaan ‘Idul Fitri jelas berakibat tidak sehat di masyarakat. Kemudian para ulama juga sudah sepakat bahwa agama ini datang untuk mendatangkan maslahat (kebaikan) bagi semua elemen masyarakat; dan semua hukum Islam berpihak kepada maslahat dan menghindari madharat (kerusakan), dan jelas bahwa beda 'Idul Fitri akan mencetuskan banyak problem (mafsadah/madharrat); baik ritual maupun sosial. Maka semua keputusan dari pemegang kebijakan dalam masalah 'Idul Fitri seyogyanya melihat realita di masyarakat sebagai petimbangan besar sebelum mencetuskan keputusan untuk menentukan jatuhnya 'Idul Fitri.
Langklah strategis  yang harus ditempuh
            Untuk keluar dari khilaf dan polemik tahunan ini kiranya harus ada langkah untuk menyelesaikannya; mungkin langkah pertama ormas-ormas harus dengan "legowo" menyerahkan kebijakan mengumumkan 'Idul Fitri kepada ulil amri; mengingat 'Idul Fitri milik bersama. Tentu ulil amri tersebut harus bersikap netral, fair dan mengakomodasi semua tokoh, ulama, dan ilmuan dari semua kubu; kemudian hasil dari ijtihad jama'i (kolektif) tersebut harus disepakati dan hanya boleh diumumkan oleh ulil amri. Yang menjadi usulan penting dalam forum pertemuan antar ormas dan jama’ah-jama’ah tersebut ada dua; pertama, jangan sampai pertemuan itu hanya disebabkan oleh undangan Menteri Agama, padahal ketika dating ke pertemuan lembaga yang diundang sudah menetapkan harga mati yang tidak mungkin berubah, dan yang kedua jangan sampai semua yang terlibat tersebut terjebak dalam adu dalil dalam masalah siapa sebenarnya ulil amri di Indonesia?
Kalau pedebatan kedua ini terjadi, apa artinya masyarakat merayakan kemerdekaan RI yang ke 62 bulan Agustus lalu. Menurut hemat penulis, yang layak menjadi ulil amri di sini adalah Departemen Agama, atau barangkali ada kelompok-kelompok yang merasa lebih berhak menjadi ulil amri di negeri ini?. Bisa saja terjadi.
Sebenarnya mencari titik temu persamaan itu tidak sesulit yang dibayangkan, dengan syarat seperti yang dikatakan Menteri Agama, "kalau mau". Benar, kalau mau, Allah SWT memberikan tip bagi pasangan suami istri yang sedang berselisih untuk bersatu kembali dengan ungkapan: "Dan jika kalian khawatir terjadi peceraian di antara mereka (suami istri) maka utuslah hakam (hakim penengah) dari keluarga suami, dan juga dari keluarga istri. Kalau mereka berdua menginginkan islah (berbaik-baikan) kembali, maka Allah akan memberikan taufiq di antara mereka". (An-Nisa': 35), tapi kalau memang kubu-kubu yang berselisih sudah enggan untuk bersatu-padu dari manakah ada jalan pertemuan meskipun sudah ada penengah?.  
Namun, kalau tidak segera diambil jalan keluar mengenai sikap-sikap pengambil kebijakan yang tetap seperti sekarang ini dan “kriteria” hilal belum disepakati, maka sampai ke generasi anak cucu kita ‘Idul Fitri bersama di Indonesia sulit menjadi kenyataan. Mudah-mudahan, 'Idul Frtri bersama akan dapat kita rasakan nantinya di alam nyata Republik Indonesia, meskipun umat Islam Indonesia dari semenjak tahun 1990-an terpaksa harus berlebaran bersama di Republik Mimpi.
Taqabbalallhu minna wa minkum, mohon maaf lahir batin.
Walahu a'lam.  
 
Yang ingin melihat umat Islam Indonesia maju,
 
Muntaha Artalim Zaim
Kuala Lumpur Pinggiran, Sungai Cincin1 Oktober 2007, 19 Ramadhan 1428.

Maklumat 1 Syawal 1428H 


Disadur dari email pak Ustadz Muntaha tahun 2007 - 

Assalamu'alaikum...,

Memang masalah "ru'yat" dan "hisab" dan juga "kriteria" tentang standarisasi yang dianggab mu'tabar masih belum bisa disepakati oleh tokoh-tokoh ormas Islam di Indonesia. Sebagai contoh tahun 1981 antara Persis dan Muhammadiyah yang sama-sama menggunakan "hisab" ternyata dalam menentukan hari raya juga berbeda. PBNU yang  berpegang dengan ru'yat ternyata juga berbeda pada tahun kemarin, PWNU Jatim merayakan lebih dulu satu hari dari keputusan PBNU.
Dan kalau dicari-cari dalil-dalil baik dari nash-nash Al-Qur'an dan Hadits-hadits dan juga dalil 'aqli (science) antara ru'yah dan hisab sama-sama kuat. Dan sebenarnya tidak akan ada perselisihan antara nash dan sciences dalam masalah hilal ini sebab obyeknya jelas dan satu.
Wallahu a'lam, dalam mengambil jalan keluar ini mungkin sekali lagi harus ditinjau dari maqashid 'idul Fitri setelah memadukan (jam') semua dalil, sebab kedua-dua kubu sama-sama berpegang dengan dalil.
Untuk meninjau maqashid syari'ah (tujuan-tujuan disyaria'tkan suatu hukum) dalam 'idul fitri, ada beberapa pandangan lain:
1. Puasa adalah ibadah bersama-sama, dan idul Fitri adalah ibadah perayaan kebersamaan, Rasulullah SAW bersabda: "As Shoumu yauma Tashumuna wal Fitru yauma tuftirun" (Hari berpuasa adalah pada hari di mana kamu semua berpuasa, dan hari (idul) fitri adalah dimana kamu semua merayakan 'idul fitri". Hadits ini sangat jelas mengedepankan persatuan umat, yang bisa jadi kurang begitu banyak mendasari pihak-pihak yang berwenang dalam menentukan hari Raya atau awal puasa.
Seandainya hadits ini dijadikan sebagai dasar tentu akan sangat mudah menyatukan awal dan akhir puasa Ramadhan.
2. Tujuan 'iedul Fitri adalah perayaan kegembiraan umat Islam , dan seringkali orang "menghibur diri" dengan menyatakan bahwa orang Indonesia sudah biasa berbeda, atau perbedaan dalam amaliah beragama itu adalah rahmat. Sepertinya jika ada mertua dan menantu yang berbeda merayakan 'idul fitri dalam satu rumah, yang satu berpuasa wajib dan satu lagi mewajibkan dirinya berbuka, tentu sama sekali bukan ini yang diharapkan dalam Islam yang penuh rahmat. Begitu juga antara suami istri yang berbeda pilihan, pasti akan banyak mengalami hambatan sosial. Sebab jauh dari tujuan asal disyari'atkannya 'idul fitri, juga termasuk tindakan yang sulit untuk dinalarkan. Dan menimbulkan implikasi dan dampak sosial yang kurang sehat.
3. Tidak semua perbedaan itu rahmat, dalam ilmu fikih hampir setiap permasalahan mulai dari thaharah sampai bab jihad sarat dengan perbedaan pendapat; tapi tidak semua perbedaan pendapat itu rahmat. Kita jadi ingin sekali mendapatkan tokoh sekaliber Ibnu Mas'ud RA, yang pada waktu Utsman bin Affan menjadi khalifah, ketika Utsman naik haji dan mabit di Mina, Utsman melaksanakan shalat Zhuhur dan Ashar sebanyak masing-masing empat rakaat. Oleh Ibnu Mas'ud ketika mendengar berita kontroversial tersbut Utsman R.A. dianggap telah meninggalkan sunnah Rasulullah SAW, sebab Rasulullah hanya shalat 2 raka'at 2 raka'at. Meskipun beliau secara prinsip tidak setuju dengan Utsman yang menyempurnakan empat rakaat, tapi ketika Ibnu Mas'ud shalat berjamaah di Mina di belakang Utsman R.A., ia shalat seperti shalatnya Utsman R.A. Ketika orang-orang mempertanyakan hal itu, Ibnu Mas'ud berkata, "Al-Khilafu Syarun (Berselisih itu  jelek). Hadist Riwayat Abu Dawud.
Benarkah Utsman R.A meninggalkan sunnah dalam masalah ini?, sebelum tergesa-gesa mengambil keputusan mungkin posisi usman dihadapan Nabi SAW akan mencairkan masalah, adakah Utsman yang hidup lama bersama Nabi SAW tidak mengetahui sunnah? tentu tidak, beliaulah orang yang sangat faham dengan sunnah. Untuk melihat lagi mengapa Utsman menyempurnakan empat rakaat, perlu waktu tersendiri yang tentu saja saat ini bukan pada topik pembahasan.
Yang menjadi hikmah adalah Ibnu Mas'ud menganggap bahwa diantara perbedaan itu ada yang jelek, mungkin kalau beliau saat ini ada juga akan berpendapat bahwa beda hari raya di satu kampung bahkan satu rumah adalah termasuk yang jelek tersebut.
4. Amrul hakim yarfa'ul khilaf (Keputusan ulil Amri dapat menghilangkan perbedaan pendapat). Mungkin di antara masyarakat yang dalam mengartikan demokrasi terlalu jauh adalah masyarakat kita; untuk 'idul Fitri pada tahun kemarin di Indonesia ada 4 hari berbeda, dan yang terakhir pada hari Rabu -kalau tidak salah- 1 syawal dirayakan oleh sebuah kelompok pengajian.
Kalau di negeri Islam lainnya, tidak terhitung ilmuan dan ulama' yang punya pendapat berbeda-beda dan punya kapabilitas yang tidak diragukan, baik dari kalangan ahli ru'yah ataupun hisab, tapi semua hanya berwacana dan semua hanya mengusulkan dan memberikan yang terbaik. Begitulah di Mesir, Saudi, negara-negara Timur Tengah, dan juga Malaysia. Dan pada giliran mengumumkan Idul Fitri  ulama'-ulama' dan ilmuan-ilmuan hanya berani menunggu keputusan "Hakim", yang terkadang kata ini di masyarakat kita seringkai hanya muncul ketika orang tidak punya wali dan mau menikah, sehingga walinya wali hakim. Itu semua disebabkan adanya kaidah besar dalam ilmu Fikih bahwa "Amrul Hakim Yarfa'ul Khilaf". Disinilah mungkin pentingnya surat an Nisa': 59, tentang urgensi ta'at kepada Allah, Rasulullah dan Ulil Amri.
Sebagai contoh kongkrit adalah catatan sipil pernikahan yang menjadikan adanya wali bagi calon pengantin wanita adalah syarat sahnya pernikahan, di semua KUA di Indonesia menyeragamkan pelaksanaan ini dan tidak memberikan toleransi kepada yang berpendapat lain, meskipun ada dalam khazanan fikih Islam yang legal. Dan alhamdulillah semua masyarakat menikmati keseragaman ini dan merasakan rahmatnya.
5. Yang menentukan 'idul 'Idul Fitri dan Shalat 'Ied bukan individu. Semenjak zaman Rasulullah SAW wacana individu dalam menganalisa dan mencari hilal selalu hasil akhirnya disampaikan dan dikembalikan kepada yang berwenang, Rasulullah SAW, dan sepeninggal beliau adalah khulafa'ul Rasyidin dan begitulah selanjutnya. Di Indinesia ada berpuluh-puluh ormas Islam, kalau seandainya semuanya membuat tim ru'yah dah hisab mungkin akan semakin menambah runyam.
Mungkin DEPAG adalah salah satunya wadah yang dapat mengakomodasi semua ormas-ormas tersebut dengan pakar-pakarnya masing-masing; yang pertemuannya tidak hanya sekedar ketika menjelang hari raya tapi terus intensif memantau setiap awal bulan Hijirah untuk menemukan kriteria dan akhirnya keputusan diambil dari sidang akbar dengan niat yang tulus ikhlas ingin mencari yang benar.  
6. Hati kecil masyarakat Islam menginginkan hari raya yang satu. Kalau diminta memilih antara dua hal, berhari raya berbeda atau beda hari raya dalam satu negeri, kemungkinan besar akan banyak yang memilih dan berharap agar hari raya jatuh pada hari yang sama.
Akhirnya, mudah-mudahan ke depan kriteria untuk menyatukan dapat ditemukan oleh tokoh-tokoh dan yang ahli dalam bidangnya dan menjadi hari raya yang satu, dan itu insya Allah dapat dicapai jiga ada "keinginan untuk islah dan bersatu".
Allah SWT mengingatkan tentang kemungkinan bersatunya kembali pasangan suami istri yang sudah berselisih, "in yuridaa al-Ishlaha yawaffiqillahu baynahuma" (Kalau mereka berdua (suami istri) menginginkan untuk islah (berbaik-baikan lagi), maka Allah akan memberikan taufiq (jalan keluar dan langkah tepat) di antara mereka berdua, tapi kuncinya jika memang menginginkan. Tapi jika memang pasangan tersebut tidak ingin bersatu dari manakah akan ada jalan. Mungkin keinginan inilah yang harus dikedepankan untuk mendapatkan taufiq dalam penentuan berhari raya.
Wallahu a'lam.
Mohon maaf bagi yang tidak berkenan
muntaha

Friday, 5 July 2013

LAPORAN PENGUMPULAN DAN PENYERAHAN DONASI KEBAKARAN DI SRI KEMBANGAN MALAYSIA (2)



DAFTAR DONATUR TABUNG AMAL KORBAN KEBAKARAN 
DAN PENGALIHAN SALDO KE KORBAN GEMPA ACEH
BANTUAN UNTUK KORBAN KEBAKARAN SERI KEMBANGAN DIALIHKAN UNTUK KORBAN GEMPA ACEH 7 JULI 2013
NO NAMA BANK TGL TRANSFER  RM  RM
1 Hamba Allah Maybank 5/11/13  100.0
2 Hamba Allah CIMB 5/11/13  150.0  150
3 Hamba Allah CIMB 5/11/13  100.0
4 Hamba Allah CIMB 5/11/13  300.0  300
5 Hamba Allah CIMB 5/11/13  1,000.0  1,000
6 Zakat Hamba Allah cash 5/11/13  500.0  500
7 Hamba Allah cash 5/11/13  300.0  300
8 Hamba Allah CIMB 5/11/13  500.0  500
9 Hamba Allah Maybank 5/12/13  250.0
10 Hamba Allah CIMB 5/12/13  1,000.0  1,000
11 Hamba Allah CIMB 5/12/13  150.0
12 Hamba Allah CIMB 5/12/13  250.0  250
13 Hamba Allah CIMB 5/12/13  1,000.0  1,000
14 Liqo Bapak2 dan Hamba Allah Maybank 5/12/13  700.0  700
15 Hamba Allah cash 5/12/13  500.0  500
16 Hamba Allah CIMB 5/12/13  300.0
17 Hamba Allah cash 5/12/13  1,000.0  1,000
18 Hamba Allah cash 5/12/13  500.0  500
19 Hamba Allah CIMB 5/12/13  100.0
20 Hamba Allah CIMB 5/13/13  350.0
21 Hamba Allah CIMB 5/13/13  200.0
22 Hamba Allah CIMB 5/13/13  100.0
23 Hamba Allah Maybank 5/13/13  100.0
24 Hamba Allah CIMB 5/13/13  20.0
25 bbrp Hamba Allah Maybank 5/13/13  1,000.0
26 Hamba Allah cash 5/13/13  200.0  200
27 Kajian Tafsir kamis cash 5/13/13  500.0
28 Hamba Allah CIMB 5/13/13  1,000.0
29 Hamba Allah Maybank 5/13/13  300.0
30 Hamba Allah Maybank 5/14/13  200.0
31 Hamba Allah CIMB 5/14/13  300.0  300
32 Hamba Allah CIMB 5/14/13  200.0  200
33 Hamba Allah CIMB 5/14/13  100.0
34 Hamba Allah cash 5/14/13  200.0
35 Hamba Allah Maybank 5/14/13  100.0
36 Hamba Allah cash 5/14/13  700.0
37 Hamba Allah CIMB 5/14/13  100.0
38 Hamba Allah cash 5/14/13  100.0
39 Hamba Allah Maybank 5/14/13  300.0
40 Hamba Allah Maybank 5/14/13  1,000.0
41 Hamba Allah CIMB 5/14/13  100.0
42 Hamba Allah cash 5/14/13  300.0  300
43 Hamba Allah cash 5/14/13  200.0
44 Hamba Allah cash 5/15/13  100.0
45 Hamba Allah cash 5/15/13  250.0
46 Hamba Allah cash 5/15/13  100.0
47 Hamba Allah cash 5/15/13  150.0
48 Hamba Allah cash 5/15/13  200.0
49 Hamba Allah cash 5/15/13  450.0
50 Hamba Allah cash 5/15/13  200.0
51 Hamba Allah cash 5/15/13  50.0
52 Hamba Allah cash 5/15/13  200.0
53 Hamba Allah cash 5/15/13  150.0
54 Pengajian Al-Ikhwaniyah cash 5/15/13  650.0
55 Hamba Allah cash 5/15/13  100.0
56 Hamba Allah CIMB 5/15/13  200.0
57 Ibu2 Putrajaya CIMB 5/15/13  710.0
58 Pengajian UM Maybank 5/15/13  700.0
59 3 Hamba Allah cash 5/15/13  220.0
60 Hamba Allah cash 5/15/13  100.0
61 Zakat Hamba Allah Maybank 5/15/13  300.0
62 Pengajian Wiatmi cash 5/16/13  2,150.0
63 Hamba Allah cash 5/16/13  100.0
64 Hamba Allah cash 5/16/13  150.0
65 Hamba Allah Maybank 5/16/13  150.0
66 Hamba Allah CIMB 5/16/13  1,000.0  813.5
67 Hamba Allah cash 5/17/13  300.0
68 Hamba Allah Maybank 5/17/13  100.0
69 Hamba Allah CIMB 5/17/13  200.0
70 Hamba Allah cash 5/17/13  100.0
71 Hamba Allah cash 5/28/13  100.0
72 Hamba Allah cash 5/31/13  66.1
Total penggalangan dana sampai tgl 28 Mei 2013
 25,616.1  9,513.5



DAFTAR PEMASUKAN DAN PENGELUARAN
Tanggal Penerimaan dan penyampaianKeteranganNo Receipt Renny 
PEMASUKAN
Total infaq masuk  25,616.1
PENGELUARAN
5/12/13Makanan untuk para korban kebakaran  (262.0)
5/16/13Plastik pembungkus sembako dan beras1 (76.0)
5/16/13gelas + mangkok plastik, karet dan plastik tambahan2 (41.2)
5/16/13Sembako untuk 200 paket (minyak, gula, kopi, sardin, mie,the)3 (1,893.3)
5/16/13susu bayi 6 units4 (107.4)
5/16/13Sembako untuk 200 paket (beras, mie instant)5 (788.0)
5/16/13pembalut6 (32.4)
5/16/13plastik2 pembungkus baju2, mukena, kerudung, sepatu, mainan dll 7 (193.0)
5/16/13tiker plastik 10 @RM458 (450.0)
5/16/13obat2an (diapet, tolak angin, cap lang, minyak telon)9 (126.0)
5/16/13beli amplop untuk distribusi uang10 (23.4)
5/16/13Distribusi 200 amplop @RM10 (sebelum pendataan) (2,000.0)
5/16/13minyak goreng 5ltr x 4 botol (56.0)
5/16/13uang angkut barang untuk 2 orang+bensin ke seri kembangan (250.0)
5/16/13Kipas angin 16inch 10 buah @RM8011 (800.0)
5/23/13Distribusi 134 amplop @RM 20 20 (2,680.0)
5/25/13scan 11 lembar form data korban kebakaran (5.5)
5/25/13photocopy + pen (6.5)
5/27/13Distribusi 132 amplop @RM 20 (2,640.0)
5/27/135 kelambu oleh Bu Rugaya (175.0)
5/31/135 rice cooker + 4 selang kompor + 4 kompor + 4 wajan12 (588.3)
5/31/13kasur lipet 1 + susu & makanan bayi + sutil wajan +sapu & serokan + 2 bihun besar13 (402.0)
5/31/13kasur lipet 414 (183.6)
5/31/13Kipas angin 16inch 15 buah @RM7815 (1,170.0)
5/31/13minum 5.5 liter 30 botol16 (112.5)
5/31/13minum 5.5 liter 30 botol17 (112.5)
5/31/13minum 5.5 liter 80 botol17 (300.0)
6/1/13Transfer uang lelah + uang bensin lorry yang mengantar barang2 donasi 31 May 201318 (200.0)
5/31/13beli 5 tabung gas19 (383.5)
7/7/13Tambahan dana untuk pendidikan mental korban kebakaran oleh mahasiswa UIA (44.5)
Sisa Saldo dana dialihkan untuk korban Gempa Aceh 5 Juli 2013