Pages

Friday, 4 July 2014

Relativisme Kebenaran Akar dari Paham Pluralisme Agama

Di sadur dari Miling List Muslim KL - 2009
Saturday, May 9, 2009 at 2:29 PM 

Assalamu' alaikum wr wb,

Yth jama'ah Muslim KL yang dirahmati Allah SWT.

Dialog bersama DR.Adian Husaini pada hari selasa malam, tanggal 7 April 2009 yang lalu, dengan kajian Paham Pluralisme Agama, perkembangan dan tantangan da'wah dewasa ini di Indonesia, sungguh sangat berkesan dan memberikan banyak pencerahan aqidah dan perjuangan da'wah Islam dewasa ini. Jamaah hadir sekitar 40 orangan. Mengingat sangat pentingnya kajian tersebut, penulis merasa terpanggil untuk berusaha keras menyusun kajian tersebut dalam catatan kaki berseri. Seri pertama berisi10 file kajian berseri yang berkaitan...Insya Allah akan dilanjutkan file seri bagian keduanya.

Alhamdulilah, catatan-catatan kunci penting dialog serial pertama yang kemudian dilengkapi dari berbagai macam referensi kunci pendukung, berhasil ditulis dirangkum dalam beberapa file berseri dalam kesimpulan sbb (Lihat lampiran) :
1.   Ajaran Freemason Cikal Bakal  Paham Pluralisme.
2.  Filsafat Perenial (Hikmah Abadi) Jiwananya Paham Pluralisme Agama.
3.  Relativisme Kebenaran Akar/Basis nya Paham Pluralisme Agama.
4.  Pluralisme Agama, Definisi dan Penyebarannya.
5.  Agama Baru bernama Pluralisme
6.  Islam dan Paham Pluralisme Agama_DR.Hamid Fahmy Zarkasyi
7.  Teology Pluralis merusak Kerukunan Beragama.
8.  Jangan memberhalakan Multikulturalisme
9.  Menyoal Ideologi Multikultural
10. Merusak Pendidikan Agama.


Wassalamu' alalikum wr wb,
Salam Perjuangan Da'wah Islamiyah,
A.Nurhono


Relativisme Kebenaran Akar dari Paham Pluralisme Agama

Catatan kunci,
Dialog DR.Adian Husaini bersama jama’ah IATMI KL

“Semua adalah relatif” (All is relative) merupakan slogan generasi zaman postmodern di Barat, kata Michael Fackerell, seorang missionaris asal Amerika. Ia bagaikan firman tanpa tuhan, dan sabda tanpa Nabi. Menyerupai undang-undang, tapi tanpa penguasa. Tepatnya dokrtin ideologis, tapi tanpa partai. Slogan itu memang enak didengar dan menjanjikan kenikmatan syahwat manusiawi. Baik buruk, salah benar, porno tidak porno, sopan tidak sopan, bahkan dosa tidak dosa adalah nisbi belaka. Artinya tergantung siapa yang menilainya. 
Slogan relativisme ini sebenarnya lahir dari kebencian. Kebencian Pemikir Barat modern Barat terhadap agama. Benci terhadap sesuatu yang mutlak dan mengikat. Generasi postmodernis pun mewarisi kebencian ini. Tapi semua orang tahu, kebencian tidak pernah bisa menghasilkan kearifan dan kebenaran. Bahkan persahabatan dan persaudaraan tidak selalu bisa kompromi dengan kebenaran. Aristotle rela memilih kebenaran dari pada persahabatan. 

Tidak puas dengan sekedar membenci, postmodernisn lalu ingin menguasai agama-agama. “Untuk menjadi wasit tidak perlu menjadi pemain” itu mungkin logikanya. Untuk menguasai agama tidak perlu beragama. Itulah sebabnya mereka lalu membuat “teologi-teologi” baru yang mengikat. Kini teologi dihadapkan dengan psudo-teologi. Agama diadu dengan ideologi. Doktrin “teologi” pluralisme agama berada diatas agama-agama. “Global Theology” dan Transcendent Unity of Religions mulai dijual bebas. Agar nama Tuhan juga menjadi global di ciptakanlah nama “tuhan baru” yakni The One, Tuhan semua agama. Tapi bagaimana konsepnya, tidak jelas betul. 

Bukan hanya itu “Semua adalah relatif” kemudian menjadi sebuah kerangka berfikir. “Berfikirlah yang benar, tapi jangan merasa benar”, sebab kebenaran itu relatif. “Jangan terlalu lantang bicara tentang kebenaran, dan jangan menegur kesalahan”, karena kebenaran itu relatif. “Benar bagi anda belum tentu benar bagi kami”, semua adalah relatif. Kalau anda mengimani sesuatu jangan terlalu yakin keimanan anda benar, iman orang lain mungkin juga benar. Intinya semua diarahkan agar tidak merasa pasti tentang kebenaran. Kata bijak Abraham Lincoln, “No one has the right to choose to do what is wrong”, tentu tidak sesuai dengan kerangka fikir ini. Hadith Nabi Idha ra’a minkum munkaran…dst bukan hanya menyalahi kerangka fikir ini, tapi justru menambah kriteria Islam sebagai agama jahat (evil religion) versi Charles Kimbal.


Jadi merasa benar menjadi seperti “makruh” dan merasa benar sendiri tentu “haram”. Para artis dan selebriti negeri ini pun ikut menikmati slogan ini. Dengan penuh emosi dan marah ada yang berteriak “Semuanya benar dan harus dihormati”. Yang membuka aurat dan yang menutup sama baiknya. Confusing! Sadar atau tidak mereka sedang men “dakwah”kan ayat-ayat syetan Nietzsche tokoh postmodernisme dan nihilisme. “Kalau anda mengklaim sesuatu itu benar orang lain juga berhak mengklaim itu salah”. Kalau anda merasa agama anda benar, orang lain berhak mengatakan agama anda salah. 


Para cendekiawan Muslim pun punya profesi baru, yaitu membuka pintu surga Tuhan untuk pemeluk semua agama. “Surga Tuhan terlalu sempit kalau hanya untuk ummat Islam”, kata mereka. Seakan sudah mengukur diameter surga Allah dan malah mendahului iradat Allah. Mereka bicara seperti atas nama Tuhan. 

Slogan “Semua adalah relatif” kemudian diarahkan menjadi kesimpulan “Disana tidak ada kebenaran mutlak” (There exists no Absolute Truth)”. Kebenaran, moralitas, nilai dan lain-lain adalah relatif belaka. Tapi karena asalnya adalah kebencian maka ia menjadi tidak logis. Kalau anda mengatakan “Tidak ada kebenaran mutlak” maka kata-kata anda itu sendiri sudah mutlak, padahal anda mengatakan semua relatif. Kalau anda mengatakan “semua adalah relatif” atau “Semua kebenaran adalah relatif” maka pernyataan anda itu juga relatif alias tidak absolut. Kalau “semua adalah relatif” maka yang mengatakan “disana ada kebenaran mutlak” sama benarnya dengan yang menyatakan “disana tidak ada kebenaran mutlak”. Tapi ini self-contradictory yang absurd.


Sebenarnya paham Pluraliosme Agama inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja. 
Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi. 

Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. 

Jadi menganggap pluralisme agama sebagai sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar. 

Jika dikaji lebih dalam, faham Pluralisme Agama, sesunguhnya berakar pada paham relativisme akal dan relativisme iman. Banyak cendekiawan yang sudah termakan paham ini dan ikut-ikutan menjadi agen penyebar paham relativisme ini, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Sebagai contoh, Prof. Dr. Azyumardi Azra, rektor UIN Jakarta menulis dalam sebuah buku terbitan Fatayat NU dan Ford Foundation:


“Islam itu memang pluralis, Islam itu banyak, dan tidak satu. Memang secara teks, Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bisa dielakkan.” Di dalam buku yang sama, seorang bernama M. Khairul Muqtafa juga menulis:
“Penafsiran atas sebuah agama (baca: Islam) sendiri tidaklah tunggal. Dengan demikian, upaya mempersamakan dan mempersatukan di bawah payung (satu tafsir) agama menjadi kontraproduktif. Dan pada gilirannya agama kemudian menjadi sangat relatif ketika dijelmakan dalam praktik kehidupan sosial sehari-hari. 

Si penulis juga mempromosikan apa yang disebutnya sebagai “Relativisme epistemologis’’,yang dimaksudkannya sebagai  ‘’Pada wilayah ini maka yang selayaknya menjadi pegangan adalah bahwa kita tidak dapat mengetahui kebenaran absolut.


Kita dapat mengetahui kebenaran hanya sejauh itu absah bagi kita. Artinya, kebenaran yang selama ini kita pahami tak lain adalah kebenaran sepihak.
Juga ada gagasan tentang ‘’Relativisme teleologis’’, yakni:

‘’Dalam konteks ini, maka Islam tak lain adalah satu jalan kebenaran diantara jalan-jalan kebenaran yang lain… artinya jalan menuju kebenaran tidak selamanya dan musti harus melalui jalan ‘agama’, tapi juga bisa memakai medium yang lain.
Karena sifatnya yang demikian maka Islam kemudian berdiri sejajar dengan praktik budaya yang ada. Tidak ada perbedaan yang signifikan kecuali hanya situalistik simbolistik. Sedangkan esensinya sama, yakni menuju kebenaran transendental.

Paham relativisme akal dan relativisme iman merupakan virus ganas semisal virus HIV yang berpotensi menggerogoti daya tahan keimanan seseorang, sebab dengan virus ini, maka seseorang menjadi tidak yakin dengan kebenaran agamanya sendiri. Dari virus ini lahirlah sikap skeptis dan agnostik yang senantiasa ragu dengan kebenaran yang dicapainya. Jika seseorang sudah kehilangan keyakinan dalam hidupnya, maka hidupnya akan terus diombang-ambingkan dengan berbagai ketidakpastian. Akar dari nilai-nilai ini adalah paham sofisme di zaman Yunani kuno, yang kemudian dikembangkan dalam sistem pendidikan di Barat. Itu bisa dimengerti, karena peradaban Barat adalah peradaban tanpa wahyu, sehingga berbagai peraturan yang mereka hasilkan, tidak berlandaskan pada wahyu Allah, tetapi pada kesepakatan akal manusia. Karena itu, sifatnya menjadi nisbi, relatif, dan fleksibel. Bisa berubah setiap saat, tergantung kesepakatan dan kemauan manusia.

Di Indonesia, karena liberalisme sedang memasuki masa puber, maka tampak ‘kemaruk’ (serakah) dan memalukan. Semua hal mau diliberalkan. Ketika terjadi penolakan masyarakat terhadap kenaikan harga BBM, seorang aktivis Islam Liberal tanpa malu-malu menulis di jaringan internet, bahwa jika kita menjadi liberal, maka harus ‘kaffah’, mencakup segala hal, baik politik, ekonomi, maupun agama. Kaum liberal di Indonesia belum mau belajar dari pengalaman negara-negara Barat, dimana liberalisme telah berujung kepada ketidakpastian nilai, dan pada akhirnya membawa manusia kepada ketidakpastian dan kegersangan batin, karena jauh dari keyakinan dan kebenaran abadi.

Manusia-manusia yang hidup dalam alam pikiran liberal dan kenisbian nilai akan senantiasa mengalami kegelisahan hidup dan ketidaktenangan jiwa. Mereka, pada hakikatnya berada dalam kegelapan, jauh dari cahaya kebenaran. Karena itu, mereka akan senantiasa mengejar bayangan kebahagiaan, fatamorgana, melalui berbagai bentuk kepuasan fisik dan jasmaniah; ibarat meminum air laut, yang tidak pernah menghilangkan rasa haus. Lihatlah kehidupan manusia-manusia jenis ini. Simaklah ucapan-ucapan mereka; tengoklah keluarga mereka; cermatilah teman-teman dekat mereka. Tidak ada kebahagiaan yang abadi dapat mereka reguk, karena mereka sudah membuang jauh-jauh keimanan dan keyakinan akan nilai-nilai yang abadi, kebenaran yang hakiki. Mereka tidak percaya lagi kepada wahyu Tuhan, dan menjadikan akal dan hawa nafsunya sendiri sebagai Tuhan. Al-Quran sudah menggambarkan sikap manusia pemuja nafsu ini:

“Maka pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (Allah mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kamu tidak mengambilpelajaran?(QS45:23).

Sayangnya, paham relativisme kebenaran ini sudah merupakan paham global, dan menjadi musuh semua agama. Sebab, paham ini menghancurkan keyakinan masing-masing pemeluk agama terhadap agamanya sendiri. Puluhan tahun lalu, penyair Pakistan, Dr. Moh. Iqbal sudah mengingatkan, jika manusia kehilangan keyakinan, maka itu lebih buruk dari perbudakan.
“Conviction enabled Abraham to wade into the fire; conviction is an intoxicant which makes men self-sacrificing; Know you, oh victims of modern civilization! Lack of conviction is worse than slavery.”

Bukan hanya Iqbal yang melihat bencana kehilangan keyakinan, sebagai bahaya besar bagi satu peradaban. Dengan nada yang hampir sama dalam melihat peradaban Barat, Paus Benediktus XVI juga mengingatkan bahaya relativisme bagi iman Katolik.
Ia menyatakan, bahwa Eropa kini sedang dalam bahaya besar, karena paham relativisme iman yang mendalam.

Dalam bukunya, The Rise of Benedict XVI, (New York: Doubleday, 2005), John L. Allen, J.R. menempatkan satu bab berjudul Battling A “Dictatorship of Relativism”. Menurut Kardinal Francis George dari Chicago, terpilihnya Ratzinger sebagai Paus di awal abad ke-21 sangat tepat, sebab, setelah Komunis runtuh, saat ini tantangan terbesar dan tersulit justru datang dari peradaban Barat. Benediktus XVI adalah orang yang datang dari Barat dan memahami sejarah dan kebudayaan Barat. (Today the most difficult challenge comes from the West, and Benedict XVI is a man who comes from the West, who understands the history and the culture of the West). Tahun 1978, saat terpilihnya Paus Yohannes Paulus II, tantangan terberat yang dihadapi Katolik adalah Komunisme. Dan tahun 2005, para Kardinal telah memilih seorang Paus yang tepat untuk menghadapi apa yang disebut oleh Benediktus XVI sebagai “dictatorship of relativism” in the West”. 22 Dalam pengantar bukunya, Reason, Relativism, and God, (London: Macmillan Press Ltd, 1986), Joseph Runzo menulis: “We live in an age of relativism”. Juga dia katakan: “relativism has become a dominant element in twentieth century theology”.

Jadi, paham Pluralisme Agama memang merupakan paham yang disebarkan untuk menghancurkan agama-agama yang ada. Salah satu aliran dalam paham ini, yaitu aliran Transendentalisme (Transendental Unity of Religion), berakar pada paham sinkretisme yang disebarkan oleh Freemasonry. Maka, pada tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas menyatakan, paham Pluralisme Agama bertentangan dengan ajaran Islam dan haram bagi umat Islam untuk menganut paham tersebut. Tahun 2000, Vatikan mengeluarkan Dekrit ‘Dominus Jesus’ yang menolak paham Pluralisme Agama dan menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantara keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus.

Dari kalangan Protestan, Pendeta Dr. Stevri Lumintang menulis buku yang sangat serius dalam menjelaskan bahaya paham Pluralisme Agama bagi agama-agama yang ada. Menurut Stevri, Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis. Karena teologi yang mereka bangun merupakan integrasi dari pelbagai warna kebenaran dari semua agama, filsafat dan budaya yang ada di dunia. Alkitab dipakai hanya sebagai salah satu sumber, itu pun dianggap sebagai mitos. Dan perpaduan multi kebenaran ini, lahirlah teologi abu-abu, yaitu teologi bukan hitam, bukan juga putih, bukan teologi Kristen, bukan juga teologi salah satu agama yang ada di dunia ini…. Namun teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.

Bahkan,tulisStevriLumintang:‘’…Theologia abu-abu (Pluralisme) yang kehadirannya seperti serigala berbulu domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi tersebut mempersalahkan semua rumusan Teologi Tradisional yang selama ini dianut dan sudah berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya Pluralisme sedang menawarkan agama baru….’’25Dalam pandangan Islam, paham Pluralisme Agama jelas-jelas merupakan paham syirik modern, karena menganggap semua agama adalah benar. Padahal, Allah SWT telah menegaskan, bahwa hanya Islam agama yang benar dan diterima Allah SWT (QS 3:19); dan barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima oleh Allah dan di Hari Akhir nanti termasuk orang-orang yang merugi.
(QS 3: 85). Dosa syirik merupakan dosa besar, kezaliman besar, dan Allah sangat murka jika diserikatkan dengan yang lain. Allah, misalnya, sangat murka karena dituduh punya anak. (QS19:88-91).

Keyakinan akan kebenaran ad-Dinul Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah, adalah konsep yang sangat mendasar dalam Islam. Karena itu, para cendekiawan dan ulama perlu menjadikan penanggulangan paham syirik modern ini sebagai perjuangan utama, agar jangan sampai 10 tahun lagi paham ini menguasai wacana pemikiran dan pendidikan Islam di Indonesia, sehingga akan lahir dosen-dosen, guru-guru agama, khatib, atau kyai yang mengajarkan paham persamaan agama ini kepada anak didik dan masyarakat.

Thursday, 3 July 2014

AYAH

Disadur dari kata-kata kang maman (no tulen) ILK TRANS 7 yang bikin mewek

AYAH



Mungkin ibu lebih kerap menelpon untuk menanyakan keadaanku setiap hari, tapi apakah aku tahu, bahwa sebenarnya ayahlah yang mengingatkan ibu untuk meneleponku?

Semasa kecil, ibukulah yang lebih sering menggendongku. Tapi apakah aku tau bahwa ketika ayah pulang bekerja dengan wajah yang letih ayahlah yang selalu menanyakan apa yang aku lakukan seharian, walau beliau tak bertanya langsung kepadaku karena saking letihnya mencari nafkah dan melihatku terlelap dalam tidur nyenyakku. Saat aku sakit demam, ayah membentakku “Sudah diberitahu, Jangan minum es!” Lantas aku merengut menjauhi ayahku dan menangis didepan ibu. Tapi apakah aku tahu bahwa ayahlah yang risau dengan keadaanku, sampai beliau hanya bisa menggigit bibir menahan kesakitanku.

Ketika aku remaja, aku meminta izin untuk keluar malam. Ayah dengan tegas berkata “Tidak boleh! ”Sadarkah aku, bahwa ayahku hanya ingin menjaga aku, beliau lebih tahu dunia luar, dibandingkan aku bahkan ibuku? Karena bagi ayah, aku adalah sesuatu yang sangat berharga. Saat aku sudah dipercayai olehnya, ayah pun melonggarkan peraturannya.

Maka kadang aku melanggar kepercayaannya. Ayahlah yang setia menunggu aku diruang tamu dengan rasa sangat risau, bahkan sampai menyuruh ibu untuk mengontak beberapa temannya untuk menanyakan keadaanku, ''dimana, dan sedang apa aku diluar sana.'' Setelah aku dewasa, walau ibu yang mengantar aku ke sekolah untuk belajar, tapi tahukah aku, bahwa ayahlah yang berkata: Ibu, temanilah anakmu, aku pergi mencari nafkah dulu buat kita bersama.

Disaat aku merengek memerlukan ini – itu, untuk keperluan kuliahku, ayah hanya mengerutkan dahi, tanpa menolak, beliau memenuhinya, dan cuma berpikir, kemana aku harus mencari uang tambahan, padahal gajiku pas-pasan dan sudah tidak ada lagi tempat untuk meminjam.

Saat aku berjaya. Ayah adalah orang pertama yang berdiri dan bertepuk tangan untukku. Ayahlah yang mengabari sanak saudara, ''anakku sekarang sukses.'' Walau kadang aku cuma bisa membelikan baju koko itu pun cuma setahun sekali. Ayah akan tersenyum dengan bangga.

Dalam sujudnya ayah juga tidak kalah dengan doanya ibu, cuma bedanya ayah simpan doa itu dalam hatinya. Sampai ketika nanti aku menemukan jodohku, ayahku akan sangat berhati – hati mengizinkannya.

Dan akhirnya, saat ayah melihatku duduk diatas pelaminan bersama pasanganku, ayahpun tersenyum bahagia. Lantas pernahkah aku memergoki, bahwa ayah sempat pergi ke belakang dan menangis? Ayah menangis karena ayah sangat bahagia. Dan beliau pun berdoa, “Ya Alloh, tugasku telah selesai dengan baik. Bahagiakanlah putra putri kecilku yang manis bersama pasangannya.

''Pesan ibu ke anak untuk seorang Ayah''

Anakku..

Memang ayah tidak mengandungmu,
tapi darahnya mengalir di darahmu, namanya melekat dinamamu ...
Memang ayah tak melahirkanmu,
Memang ayah tak menyusuimu,
tapi dari keringatnyalah setiap tetesan yang menjadi air susumu ...

Nak..

Ayah memang tak menjagaimu setiap saat,
tapi tahukah kau dalam do'anya selalu ada namamu disebutnya ...
Tangisan ayah mungkin tak pernah kau dengar karena dia ingin terlihat kuat agar kau tak ragu untuk berlindung di lengannya dan dadanya ketika kau merasa tak aman...

Pelukan ayahmu mungkin tak sehangat dan seerat bunda, karena kecintaanya dia takut tak sanggup melepaskanmu...
Dia ingin kau mandiri, agar ketika kami tiada kau sanggup menghadapi semua sendiri..

Bunda hanya ingin kau tahu nak..
bahwa...
Cinta ayah kepadamu sama besarnya dengan cinta bunda..
Anakku...
Jadi didirinya juga terdapat surga bagimu... Maka hormati dan sayangi ayahmu.

Studi Kristologi

Tulisan dibawah ini di sadur dari email di Muslim KL - tanggal 25 Desember 2010 oleh pak Nurhono.. terimaksih atas postingan nya pak. 

Assalamu'alaikum wr wb,

Hari khamis, 23 Des 2010 yang lalu, sebagaimana biasanya setiap 1 bulan sekali, INSISTS diberi ruang pada Koran Republika menulis pada edisi Islamia, Jurnal Pemikiran Islam. Kali ini kajiannya adalah tentang "Studi Kristology". Untuk membantu memudahkan sahabat2 kaum muslimin dan muslimat IATMI-KL, mendalami masalah ini khususnya di bulan Desember ini ketika berhadapan dengan issue perayaan Natal, maka dari Jakarta kami lampirkan beberapa file dari artikel2 edisi tersebut :

1. Umat islam Tidak Toleran ?
2. Natal Ibadah kaum Kristen.
3. Studi Kristology.
4. Bisakah suatu fatwa dicabut, sikap Buya Hamka terhadap fatwa MUI : Natal Bersama .
5. Arsyad Thalib Lubis_kristolog Batak kharismatik.
6. KH.Abdullah syafie_Ulama Pejuang.
7. Kecerdasan _Oleh2 Dr,Hamid Fahmy Zarkasyi_Insists Duta RI.

Selamat membaca....semoga bermanfaat, semoga semakin mencerahkan kehidupan beragama umat dan pemikiran Islam , Amin.

Wassalamu' alaikum wr wb,
A.Nurhono



Studi Kristologi
Wednesday, 22 December 2010 12:56
Written by Adian Husaini


Sejak kemunculan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, Islam sudah harus berhadapan dengan berbagai agama yang eksis sebelumnya. Salah satunya adalah agama Kristen, yang saat itu sudah menyebar di berbagai wilayah di Jazirah Arab. Al-Quran juga memberikan banyak penjelasan tentang agama ini. Nabi Muhammad saw mengirimkan delegasi pengungsi Muslim, hijrah dari Mekkah ke Habsyah (Ethiopia) untuk mencari suaka pada Raja Najasyi yang kala itu masih beragama Kristen.

Kaum Quraisy yang tidak rela dengan kepergian kaum Muslim segera mengirimkan utusan khusus kepada Najasyi agar mengusir kembali kaum Muslim tersebut. Raja Najasyi diprovokasi. Kepada Najasyi dan para pendeta Kristen, Amr bin Ash dan Amarah – dua utusan Quraisy --  menyatakan, bahwa orang-orang Islam tidak akan mau bersujud kepada Raja. Ketika kaum Muslim dipanggil menghadap Raja, mereka diperintahkan, “Bersujudlah kalian kepada Raja!”.  Dengan tegas Ja’far menjawab, “Kami tidak bersujud kecuali kepada Allah semata.”

Memang, dalam pandangan Islam, tugas terpenting dari misi kenabian adalah menegakkan kalimah tauhid (QS 16:36), dan memberantas kesyirikan. Dalam al-Quran disebutkan, Lukmanul Hakim mengajarkan anaknya agar jangan melaksanakan dosa syirik, sebab syirik adalah kezaliman yang besar. (QS 31:13). Menyekutukan Allah adalah tindakan yang tidak terampuni dan tidak beradab. Allah adalah al-Khaliq dan manusia adalah makhluk. Manusia tidak patut disetarakan dengan Allah. Di antara manusia saja – antara pejabat dan rakyat – misalnya, dibeda-bedakan status dan perlakuannya. Apalagi, antara makhluk dengan al-Khaliq, tentulah ada status yang sangat berbeda.
Salah satu titik sentral dari penjelasan al-Quran tentang agama Kristen terletak pada status Nabi Isa a.s., yang dalam Islam diakui sebagai Nabi dan Rasul; bukan Tuhan dan bukan anak Tuhan. Bahkan, Al-Quran menyebutkan, bahwa Allah SWT sangat murka karena dituduh punya anak. (QS 19:88-91). Polemik soal ini sudah berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad saw, saat Nabi saw melayani diskusi dan debat dengan delegasi Kristen Najran. 


Toleransi
Meskipun secara tegas mengoreksi berbagai dasar-dasar kepercayaan Kristen, umat Islam tidak menolak kehadiran dan keberadaan kaum Kristen. Sejarah Islam diwarnai dengan berbagai bentuk interaksi antara pemeluk kedua agama ini. Al-Quran tidak melarang kaum Muslim untuk berbuat baik terhadap kaum agama lain. Sejak awal, umat Islam sudah diajarkan untuk menerima kesadaran akan keberagaman dalam agama (pluralitas). Misalnya, dalam surat Al Mumtahanah ayat 8 disebutkan,


"Allah tidak mencegahmu berbuat baik kepada mereka yang tidak memerangimu dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu." Bahkan, Nabi Muhammad saw berpesan, "Barangsiapa menyakiti seorang dzimmi, maka sungguh ia menyakitiku, dan barangsiapa menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah." (HR Thabrani).


Prestasi Rasulullah saw dalam membangun peradaban yang unggul di Madinah dalam soal membangun toleransi beragama kemudian diikuti oleh Umar bin Khattab yang pada tahun 636 M menandatangani Perjanjian Aelia dengan kaum Kristen di Jerusalem. Sebagai pihak yang menang Perang, Umar bin Khathab tidak menerapkan politik pembantaian terhadap pihak Kristen. Karen Armstrong memuji sikap Umar bin Khatab dan ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan Jerusalem, yang belum pernah dilakukan para penguasa mana pun sebelumnya. Karen Armstrong mencatat:

Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan perkecualian pada Raja Daud.  Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran symbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atau pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam. Jika sikap respek terhadap penduduk yang ditaklukkan dari Kota Jarusalem itu dijadikan sebagai tanda integritas kekuatan monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa yang panjang di Jerusalem, dengan sangat baik tentunya.”  (Dikutip dan diterjemahkan dari buku Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997)


Studi kristologi
Disamping catatan-catatan indah tentang sejarah toleransi antar umat beragama, sejarah Islam juga dipenuhi dengan munculnya ribuan ilmuwan dalam studi agama-agama lain, khususnya studi Kristen (Kristologi) di berbagai penjuru dunia. Penjelasan yang cukup melimpah tentang Kristen dan kaum Nasrani dalam al-Quran dan hadits Nabi Muhammad saw, telah mendorong banyak ilmuwan Muslim menekuni secara serius studi Kristologi. Imam Syahrastani, Abul Qahir al-Baghdadi, Ibn Hazm, al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, Ibn Taimiyah, dan sebagainya adalah sebagian kecil dari ulama Islam yang ’bertungkus lumus’ dalam mengkaji bidang Kristologi.


Uniknya, dalam mengkaji berbagai agama, para ulama Islam tetap mengacu kepada perspektif Tauhid, bukan pada perspektif humanisme sekuler yang netral agama. Dalam perspektif ini, unsur subjektif dan objektif dipadukan sekaligus. Para ulama Islam, tetap melakukan studi agama-agama secara objektif, yakni mengkaji fakta dengan seobjektif mungkin. Tetapi, ketika menilai fakta itu, maka mereka menggunakan posisi (cara pandang) Islam, bukan cara pandang netral agama.

Contoh yang menarik adalah kajian yang dilakukan oleh ilmuwan ’ensiklopedik’ Abu Rayhan Muhammad Ibn Ahmad al-Biruni (362/973-443/1051), yang lebih dikenal dengan nama al-Biruni. Dalam disertasi doktornya di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, yang berjudul Early Muslim Scholarship in Religionswissenschaft, Dr. Kamaroniah Kamaruzaman menyatakan, bahwa metode studi agama yang digunakan oleh al-Biruni dalam studi agama-agama masih sangat relevan digunakan sampai saat ini. Studi agama-agama model al-Biruni – dan para ulama Islam lainnya – mampu memadukan antara objektivitas dan akurasi dengan keyakinan akan kebenaran Islam itu sendiri. Dengan kata lain, al-Biruni mengkaji berbagai agama, tanpa harus meninggalkan keyakinannya sebagai Muslim.

Perlu dicatat, al-Biruni adalah ilmuwan multi-disiplin ilmu. Prof. Mulyadi Kartanegara, dalam bukunya, Pengantar Epistemologi Islam, (2003), mencatat, bahwa pada abad ke-11 itu al-Biruni, dengan menggunakan rumus-rumus matematika,  sudah mampu menghitung keliling bumi sebesar 24.778,5 mil. Ilmu pengetahuan modern sekarang mencatat, keliling bumi adalah 24.585 mil. Sedangkan diameter bumi diukurnya sebesar 7.878 mil. Kini, ilmuwan modern menemukan diameter bumi adalah 7.902 mil.

Di tengah berbagai kegiatan penelitian ilmiahnya di bidang sains, al-Biruni juga menyempatkan diri menekuni bidang studi agama-agama selama bertahun-tahun dan menulis kitab yang monumental di bidang ini, yakni Kitab al-Hind dan Kitab al-Atsar.  Dalam Kitab  al-Hind, al-Biruni menegaskan,  bahwa  agama yang haq hanya satu, yakni ad-Dinul Islam. Kata al-Biruni: ”Fainna maa ‘adaa al-haqq zaaigh wa al-kufru millah wahidah min al-inhiraaf ‘anhu.”

Di Indonesia, studi Kristologi sudah berlangsung berabad-abad lalu. Salah satu karya monumental di bidang ini adalah kitab Tibyan Fii Ma’rifatil Adyan, karya ulama Aceh Nuruddin ar-Raniry. Kitab Tibyan ditulis Raniry atas permintaan Sulthanah Safiyyah al-Din Shah, sekitar tahun 1642-1644. Tujuannya tak lain untuk menjaga aqidah umat. Kitab ini mengkaji berbagai jenis agama dan kepercayaan selain Islam. Pakar pendidikan dan epistemology Melayu, Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud menilai ditulisnya kitab Tibyan Fii Ma’rifatil Adyan sebagai bentuk kepedulian dan kepekaan penguasa terhadap kesucian agama, dengan merujuk kepada ulama yang paling hebat dan berpengaruh kala itu.

Kedatangan penjajah Belanda di Indonesia semakin menyuburkan kajian-kajian Kristologi di Tanah Air Indonesia.  Catatan sejarah menunjukkan, bahwa Pangeran Diponegoro  memilih untuk meninggalkan istana Mataram juga dipicu oleh kesadaran agamanya.   Dalam Babad Cakranegara disebutkan, adalah Pangeran Diponegoro sendiri yang menolak gelar putra mahkota Kerajaan Mataram dan merelakan tahta untuk adiknya R.M Ambyah. Latar belakangnya, untuk menjadi Raja,  yang mengangkat adalah orang kafir (Belanda).  Diponegoro tidak ingin dimasukkan kepada golongan orang-orang murtad. Ini merupakan hasil tafakkurnya di Parangkusuma. Dikutip dalam buku Dakwah Dinasti Mataram: “Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, ingatkan padaku, bahwa saya bertekad tak mau dijadikan pangeran mahkota, walaupun seterusnya akan diangkat jadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin. Saya bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak urung menanggung dosa (Babad Diponegoro, jilid 1 hal. 39-40).

Arus besar Kristenisasi di Indonesia pada awal abad ke-20 semakin menggalakkan banyak ulama dan kaum Muslim untuk melakukan studi Kristologi.  Tujuannya tak lain untuk membendung arus Kristenisasi. Dalam disertasi doktornya yang kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Membendung Arus: Repons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Dr. Alwi Shihab mencatat:  “… sebagai organisasi yang paling aktif membendung misi-misi Kristenisasi, Muhammadiyah secara terbuka berupaya menganggulangi pasang naik kegiatan misionaris Kristen dalam berbagai cara.”


Juga, tulis Alwi Shihab: ”kehadiran misi Kristen dan penetrasi mereka ke negeri ini, serta pengaruh yang mereka desakkan, menjadi faktor pendorong utama yang memicu munculnya semangat keagamaan KH Ahmad Dahlan yang menggebu-gebu, yang pada gilirannya menyebabkan lahirnya Muhammadiyah. Kehadiran dan penetrasi Kristen terutama adalah hasil upaya kolonialisme Belanda dalam memupuk semangat misi Kristen.”

Semangat membendung arus Kristenisasi di Indonesia itulah yang antara lain banyak mendorong lahirnya ratusan – mungkin ribuan -- Kristolog-kristolog Muslim di Indonesia.  Tentu saja, sejalan dengan dinamika dan tantangan zaman, studi-studi kristologi di Indonesia perlu ditingkatkan lebih serius, baik dari segi isi, metodologi, maupun sistametika. Apa yang telah dirintis oleh para kristolog terdahulu sudah seharusnya dikaji ulang, dan jika perlu dikembangkan lebih baik lagi. (***)

Umat Islam Tidak Toleran?

Tulisan dibawah ini di sadur dari email di Muslim KL - tanggal 25 Desember 2010 oleh pak Nurhono.. terimaksih atas postingan nya pak. 

Assalamu'alaikum wr wb,

Hari khamis, 23 Des 2010 yang lalu, sebagaimana biasanya setiap 1 bulan sekali, INSISTS diberi ruang pada Koran Republika menulis pada edisi Islamia, Jurnal Pemikiran Islam. Kali ini kajiannya adalah tentang "Studi Kristology". Untuk membantu memudahkan sahabat2 kaum muslimin dan muslimat IATMI-KL, mendalami masalah ini khususnya di bulan Desember ini ketika berhadapan dengan issue perayaan Natal, maka dari Jakarta kami lampirkan beberapa file dari artikel2 edisi tersebut :

1. Umat islam Tidak Toleran ?
2. Natal Ibadah kaum Kristen.
3. Studi Kristology.
4. Bisakah suatu fatwa dicabut, sikap Buya Hamka terhadap fatwa MUI : Natal Bersama .
5. Arsyad Thalib Lubis_kristolog Batak kharismatik.
6. KH.Abdullah syafie_Ulama Pejuang.
7. Kecerdasan _Oleh2 Dr,Hamid Fahmy Zarkasyi_Insists Duta RI.

Selamat membaca....semoga bermanfaat, semoga semakin mencerahkan kehidupan beragama umat dan pemikiran Islam , Amin.

Wassalamu' alaikum wr wb,
A.Nurhono

Umat Islam Tidak Toleran?
Friday, 24 December 2010
Written by Adian Husaini
Pada 1 Juli 2009, Dr. Marwa El-Sherbini, seorang Muslimah yang sedang hamil tiga bulan dibunuh oleh seorang non-Muslim di Pengadilan Dresden Jerman. Dr. Marwa dibunuh dengan sangat biadab. Ia dihujani tusukan pisau sebanyak 18 kali, dan meninggal di ruang sidang.
Dr. Marwa hadir di sidang pengadilan, mengadukan seorang pemuda Jerman bernama Alex W yang menjulukinya sebagai “teroris” karena ia mengenakan jilbab. Pada suatu kesempatan, Alex juga pernah berusaha melepas jilbab Marwa, Muslimah asal Mesir. Di persidangan itulah, Alex justru membunuh Dr. Marwa dengan biadab. Suami Marwa yang berusaha membela istrinya justru terkena tembakan petugas.

http://www.bamah.net/2012/01/marwa-el-sherbini-mati-syahid-karena-membela-haknya/
Mungkin karena korbannya Muslim, dan pelakunya warga asli non-Muslim, peristiwa besar itu tidak menjadi isu nasional, apalagi internasional. Tampaknya, kasus itu bukan komoditas berita yang menarik dan laku dijual!
Bandingkan dengan kasus terlukanya seorang pendeta Kristen HKBP di Ciketing Bekasi, akibat bentrokan dengan massa Muslim. Meskipun terjadi di pelosok kampung, dunia ribut luar biasa. Menlu AS Hilary Clinton sampai ikut berkomentar. Situs berita Kristen www.reformata.com, pada 20 September 2010, menurunkan berita: “Menlu AS Prihatin soal HKBP Ciketing”.
Menyusul kasus Ciketing tersebut, International Crisis Group (ICG), dalam situsnya, (www.crisisgroup.org) juga membuat gambaran buruk terhadap kondisi toleransi beragama di Indonesia: “Religious tolerance in Indonesia has come under increasing strain in recent years, particularly where hardline Islamists and Christian evangelicals compete for the same ground.”
Banyak orang Muslim terbengong-bengong dengan fenomena ketidakdilan informasi yang menimpa mereka. Saat menemani Presiden Barack Obama melihat-lihat Masjid Istiqlal, Prof. KH Ali Musthafa Ya’qub menyampaikan titipan kaum Muslim Washington yang sudah tujuh tahun menunggu izin pendirian Masjid. Padahal, tanah sudah tersedia. Izin sudah diajukan dan belum kunjung keluar.
Masalahnya, yang jadi korban Muslim! Mungkin, oleh berbagai pihak, kasus yang menimpa kaum Muslim dianggap bukan komoditas berita yang menarik dan layak jual.
Kasus-kasus penyerangan tempat ibadah dan orang-orang Muslim di dunia Barat sangat melimpah datanya. Kebencian terhadap Muslim meningkat setelah peristiwa 11 September 2001. Berbagai laporan menunjukkan terjadinya vandalisme di banyak masjid dan kuburan Muslim hampir di seluruh Eropa. Pelecehan terhadap Islam seperti dilakukan oleh politisi Belanda Geert Wilders, juga tidak menjadi isu internasional tentang pelecehan Islam.
Pada 12 Februari 2010, Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ) menyebarluaskan data perusakan gereja di Indonesia. Kata mereka, hingga awal tahun 2010 telah ada hampir sekitar 1200 buah gereja yang dirusak dan ditutup.  Berita ini tersebar ke seluruh dunia.
Fantastis! Ada 1200 gereja dirusak di Indonesia, sebuah negeri Muslim terbesar di dunia! Wajar jika dari ekspose angka itu akan muncul persepsi negatif terhadap Indonesia dan kaum Muslim. Setidaknya, bisa muncul opini, betapa biadab dan tidak tolerannya orang Muslim di Indonesia! Jika kasus satu gereja di Ciketing Bekasi saja sampai ke telinga Hillary Clinton, bagaimana dengan kasus 1.200 perusakan gereja!
Sayang, tidak ada analisis komprehensif dan jujur mengapa dan jenis kerusakan apa yang dialami gereja-gereja itu. Data Badan Litbang Kementerian Agama menunjukkan, pertumbuhan gereja Protestan di Indonesia pada periode 1977-2004, menunjukkkan angka yang fantastis, yakni  131,38 persen.  Gereja Katolik lebih fantastis, 152 persen. Sedangkan pertumbuhan rumah ibadah umat Islam meningkat 64,22 persen pada periode yang sama.
Angka pertumbuhan gereja di Indonesia yang fantastis itu mestinya juga diekspose oleh lembaga-lembaga Kristen ke dunia internasional, agar laporan mereka lebih berimbang dan fair terhadap kondisi keberagamaan di Indonesia! Itu jika ada keinginan untuk membangun Indonesia sebagai rumah bersama, agar lebih adil, makmur, dan sejahtera.
Dalam soal toleransi beragama, antara opini dan fakta memang bisa jauh berbeda. Umat Islam sudah kenyang dengan rekayasa semacam itu. Dunia Barat bepuluh tahun tertipu oleh opini yang diciptakan kaum Zionis, bahwa negeri Palestina adalah tanah kosong, tanpa penduduk. Bertahun-tahun banyak orang Barat percaya, bahwa Israel adalah “David” sedangkan negara-negara Arab adalah “Goliath”. Kini, banyak yang sudah terbuka matanya, apa yang sebenarnya terjadi.
Dalam beberapa kali mengikuti perjalanan jurnalistik ke luar negeri, antara tahun 1996-1997, saya melihat bagaimana masalah Islamisasi di Timtim itu kadangkala diangkat oleh wartawan Barat dalam acara jumpa pers dengan pejabat-pejabat pemerintah RI. Mereka termakan oleh kampanye Uskup Belo selama bertahun-tahun bahwa telah terjadi Islamisasi di Timtim yang antara lain difasilitasi oleh ABRI.
Padahal, fakta bicara lain. Yang terjadi di masa integrasi Timtim dengan Indonesia adalah Katolikisasi! Bukan Islamisasi! Hasil penelitian Prof.  Bilver Singh dari Singapore National University, menunjukkan, pada 1972, orang Katolik Timtim hanya berjumlah 187.540 dari jumlah penduduk 674.550 jiwa (27,8 persen). Tahun 1994, jumlah orang Katolik menjadi 722.789 dari 783.086 jumlah penduduk (92,3 persen). Tahun 1994, umat Islam di Timtim hanya 3,1 persen. Jadi dalam tempo 22 tahun di bawah Indonesia, jumlah orang Katolik Timtim meningkat 356,3%. Padahal, Portugis saja, selama 450 tahun menjajah Timtim hanya mampu mengkatolikkan 27,8% orang Timtim.
Melihat pertambahan penduduk Katolik yang sangat fantastis itu, Thomas Michel, Sekretaris Eksekutif Federasi Konferensi para Uskup Asia yang berpusat di Bangkok, menyatakan, “Gereja Katolik di Timtim berkembang lebih cepat dibanding wilayah lain mana pun di dunia.” (Lihat, Bilveer Singh, Timor Timur, Indonesia dan Dunia, Mitos dan Kenyataan (Jakarta: IPS, 1998).
Itu fakta. Tapi, opini di dunia internasional berbeda. Sejumlah kasus Islamisasi di Timtim diangkat dan dibesar-besarkan sehingga menenggelamkan gambar besar kondisi keagamaan di Timtim saat itu.
Ini kepiawaian mencipta opini! Perlu diacungi jempol. Tokoh agama menjalankan fungsinya sebagai juru kampanye, bahwa umatnya tertindas, terancam, dan perlu pertolongan dunia internasional. Dan, kampanye itu menuai hasil yang mengagumkan!  Dunia diminta percaya bahwa kaum Kristen terancam dan tertindas di Indonesia; bahwa tidak ada toleransi, tidak ada kebebasan beragama di negeri Muslim ini. Berbagai LSM di Indonesia sibuk mengumumkan hasil penelitian bahwa kondisi kebebasan beragama di Indonesia sangat buruk.
Cara eksploitasi kasus di luar batas proporsinya ini sangat merugikan citra bangsa. Padahal, lihatlah fakta besarnya! Muslim Indonesia sudah terbiasa dengan keberagaman dalam kehidupan beragama. Umat Muslim terbiasa menerima pejabat-pejebat non-Muslim duduk di posisi-posisi penting kenegaraan. Umat Muslim sangat biasa melihat tayangan-tayangan acara agama lain di stasiun televisi nasional. Hari libur keagamaan pun dibagi secara proporsional.
Tengoklah, berapa gelintir orang Muslim yang diberi kesempatan untuk menjadi pejabat tinggi di negara-negara Barat, sampai saat ini. Tengoklah, apakah kaum Muslim di sana bebas mengumandangkan azan, sebagaimana kaum Kristen di Indonesia bebas membunyikan lonceng gereja. Apa ada hari libur untuk kaum Muslim saat berhari raya, sebagaimana kaum Kristen menikmati libur Natal dan Paskah?
Tengoklah pusat-pusat pembelanjaan dan televisi-televisi Indonesia saat perayaan Natal! Apakah kaum Kristen dihalang-halangi untuk merayakan Natal dan hari besar lainnya? Justru yang terjadi sebaliknya. Di Indonesia, sebuah negeri Muslim, suasana Natal begitu bebas merambah seluruh aspek media massa.
Dalam kondisi maraknya ritual Kristen dan Kristenisasi di Indonesia, sungguh suatu “kecerdikan yang luar biasa” dalam bidang teknik pencitraan, bahwa Indonesia dicitrakan sebagai sebuah negeri yang tidak memberikan toleransi beragama kepada minoritas Kristen. Seolah-olah mereka adalah umat yang tertindas dan teraniaya.  Adanya kasus-kasus tertentu diangkat dan dieksploitasi begitu dahsyat sehingga Indonesia dicitrakan sebagai negeri yang tidak ada kebebasan beragama.
Tentu, adilnya, jika ingin menikmati kecantikan wajah seorang gadis, lihatlah seluruh wajahnya! Jika hanya satu dua jerawat yang diteropong dan dipelototi habis-habisan, maka wajah cantik itu akan hilang dari pandangan mata!
Kaum Muslim pasti sangat mencintai negeri ini. Muslim pasti mencintai toleransi, kerukunan, dan perdamaian. Hanya saja, tokoh Islam Indonesia M. Natsir, pernah memohon: “…kalaulah ada suatu harta yang kami cintai dari segala-galanya itu ialah agama dan keimanan kami. Itulah yang hendak kami wariskan kepada anak cucu dan keturunan kami. Jangan tuan-tuan coba pula memotong tali warisan ini!”
Kaum Muslim perlu terus mengambil hikmah dan pelajaran dari berbagai kasus yang menimpa mereka. Juga, kaum Muslim,  terutama para aktivis dakwah, perlu terus meningkatkan kualitas dan kemampuan dakwahnya, agar mereka tidak mudah dikelabui dan diperdayakan. Toleransi umat Islam dinegeri ini tidak dihargai, justru umat Islam dicitrakan sebagai umat yang tidak toleran, padahal secara umum, mereka sudah berbuat begitu baik kepada kalangan non-Muslim dalam berbagai bidang kehidupan.  (17 Desember 2010***)